Kegagalan timnas U-19 mengulang preatasi tahun 2013 karena diaingkirkan Malaysia di semifinal, masih menjadi perbincangan publik.
Federasi sendiri juga belum melakuka evaluasi baik kepada tim pelatih maupun pemain. Namun, PSSI justru sudah memberitakan bila mereka sudah menyiapkan calon lawan timnas U-19.yang lebih hebat.
Mungkin kata lebih hebat adalah hiburan untuk publik karena menganggap Malaysia berarti tidak hebat, meski berhasil mengalahkan Egy dan kawan-kawan.
Barangkal juga PSSI mencoba menangkis sindiran media yang telah menyimpulkan bahwa sepakbola Indonesia terus tertinggal oleh Malaysia di semua kelompok umur, musuh bebuyutan Garuda.
Benarkah semua kelompok umur timnas kita kini tertinggal dari Malaysia?
Bila tolok ukurnya hasil pertandingan dalam setiap even, bisa jadi ya. Namun, bila kita telisik lebih dalam, setiap.kekalahan timnas kelompok umur manapun, meladeni Malaysia, pemain kita sudah kalah mental sebelum bertanding. Padahal dalam hal teknis, pemain kita lebih unggul.
Jadi, sejatinya bila kita kalah dari Malaysia, yang kalah adalah intelegensi pemain yang berbuntut pada lemahnya personaliti pemain.
Cara Malaysia memenangi laga dengan memprovokasi, mengulur waktu, melakukan diving dan tipu daya, tidak dapat diimbangi oleh pemain timnas kita yang masih miskin kecerdasan intelektual dan sikap. Di setiap laga timnas melawan Malaysia, semua pemain Malaysia selalu terlihat lebih percaya diri, meski pertandingan dilakukan di Indonesia.
Jadi dengan senjata cerdas otak dan sikap itulah, Malaysia selalu dapat memecundangi kita.
Lebih parah, dua kali.kekalahan yang diderita Indra Syafri dari Malasysia, selalu karena menurunkan pemain yang bukan tim utama, terkesan meremehkan. Pemain utama saja masih ada yang minder, apalagi menurunkan pemain lapis kedua.
Dengan peristiwa-peristiwa kekalahan yang terjadi, pun bukan saja oleh Malaysia, seluruh pemain timnas kita di berbagai kelompok umur memang sangat mencolok kelemahannya dari sisi intelegensi dan personaliti.