Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat

Dilematis Edy Rahmayadi, PSSI atau Gubernur?

Diperbarui: 16 Februari 2018   06:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Edy Rahmayadi (NUGYASA LAKSAMANA/KOMPAS.com)

Keputusan Edy Rahmayadi terjun ke dunia politik dengan mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Utara, akan berbuntut dilema buat PSSI. Mengapa? Edy yang ngotot mencalonkan diri sebagai calon gubernur, bahkan dengan tegas melakukan langkah mundur dari jabatannya di TNI sebagai satu di antara syarat agar netral, nyatanya memang akan menjadi persoalan bagi Organisasi PSSI sendiri.

Edy yang bergeming untuk tetap menjabat sebagai Ketua Umum PSSI dengan alasan, tidak ada regulasi dalam statuta yang melarang Ketua Umumnya rangkap jabatan. Namun, bila nantinya Edy benar-benar terpilih menjadi gubernur, maka persoalan baru jelas menghadang. Pasalnya, ternyata ada pelarangan rangkap jabatan bagi Kepala Daerah atau wakil Kepala Daerah.  

Larangan itu diatur di dalam SE Mendagri Gamawan Fauzi Nomor 800/148/sj 2012 tanggal 17 Januari 2012, tentang Larangan Perangkapan Jabatan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah pada Kepengurusan KONI, PSSI Daerah, Klub Sepakbola Profesional dan Amatir, serta Jabatan Publik dan Jabatan Strukturalllschool.

Mengapa diam

Dengan adanya larangan rangkap jabatan bagi Kepala Daerah, maka secara otomatis, Edy harus memilih. Menjadi Gubernur atau tetap Ketua Umum PSSI. Persoalannya, mengapa sejak awal Edy melakukan proses pencalonan, mulai dari mundur dari jabatan di TNI, lalu proses-proses kepartaian, hingga resmi terdaftar sebagai kandidat calon gubernur, pengurus PSSI, pengurus Asosiasi PSSI Provinsi,, pengurus Asosiasi PSSI Kabupaten, pengurus Asosiasi PSSI Kota, pengurus klub yang pada hakikatnya mereka ada voters PSSI, mengapa diam tak bicara?

Bahkan pemerintah dalam hal ini Menpora,  baru merespon dan kaget, saat Edy mengumumkan dirinya cuti sebagai Ketua Umum PSSI sejak tanggal 12 Februari hingga 31 Juni 2018, demi konsentrasi di jalur politik. Padalah Menpora/pemerintah sempat membekukan PSSI, sepakbola nasional terpuruk, lalu kembali mensuport PSSI. Kekagetan Imam, diiringi sindiran atau kritik "lagi perang-perang gini, kok cuti"

Memang sidiran Imam cukup beralasan. Kini saat sepakbola nasional bangkit, di tahun 2018 PSSI memiliki segudang gawean dan pekerjaan rumah untuk mengentaskan sepakbola nasional merengkuh prestasi, justru Edy memiliki ambisi pribadi menjadi gubernur, dan tetap kukuh mempertahankan jabatannya sebagai orang nomor satu di PSSI.

Pertanyaannya, ke mana saja orang-orang yang kini seolah-olah baru bangun dari tidur karena mempersoalkan Edy cuti dan memaparkan adanya larangan jabatan bagi pejabat daerah. Mengapa persoalannya tidak diungkap sejak Edy pertama memberikan sinyal untuk terjun ke dunia politik. 

Keinginan Edy mengabdi kepada rakyat dengan menjadi calon gubernur, sudah diungkap Edy sejak awal, dan bahkan media cetak/elektronik nasionl ramai mengangkat serta membincangkan berita rencana Edy mencalonkan diri menjadi gubernur.

Mengapa dulu diam, sekarang baru bicara? Apa ini juga bagian dari politik juga, taktik dan intrik  bagi mereka yang baru mengangkat persoalan Edy?

Sejatinya, sosok Edy sebagai penggawa PSSI masih sulit dicari penggantinya. Di tangan Edy, publik mengakui bahwa sepakbola nasional beranjak dari terpuruk. Prestasi sepabkola Indonesia juga terukur dengan terus naiknya rangking FIFA. Seluruh kelompok timnas juga akan berlaga dalam semua event putaran final di tahun 2018 ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline