Awal tahun 2018 sepak bola Indonesia kembali menggeliat, dimulai dari gegap gempitanya gelaran Piala Presiden edisi ke-3 yang sudah memasuki fase semifinal dan menggeloranya persiapan seluruh timnas dari U-16, U-19, serta U-23. Digelarnya juga turnamen-turnamen kecil sebagai ajang uji coba tim yang dilakukan kontestan Liga PSSI mulai dari Liga 1, Liga 2, Liga 3. Namun, di balik geliat tersebut ternyata kasus utang PSSI kembali mengemuka ke hadapan publik.
Adalah La Nyalla Mahmud Mattalitti, mantan Ketua Umum PSSI yang kembali menagih utang. Mengapa PSSI berutang pada La Nyalla? Andai yang berutang adalah Asosiasi PSSI Provinsi (Asprov) atau Asosiasi PSSI Kabupaten (Askab) atau Asosiasi PSSI Kota (Askot) kepada pengurus atau pihak lain, barangkali sudah bukan barang baru. Karena Asprov, Askab, dan Askot, lebih sering dapat menghidupkan roda organisasinya dengan bekal dana pribadi pengurus maupun dari orang-orang baik (orang gila bola) yang memberikan bantuan donasi.
PSSI Daerah Identik dengan Utang?
Biasanya anggaran PSSI daerah (Asprov, Askab, dan Askot) hanya mengandalakan kucuran dana dari APBD yang disalurkan melalui KONI Daerah. Anggaran itupun harus dibagi kepada cabang-cabang olahraga lain di bawah naungan KONI Daerah. Padahal dana yang dikucurkan amanahnya untuk dana pembinaan dan kompetisi.
Asprov, Askab, dan Askot, biasanya hanya dapat menggunakan kucuran dana tersebut untuk urusan rumah tangga organisasinya. Hasilnya, dapat dihitung, Asprov, Askab, dan Askot di seluruh Indonesia yang menonjol pergerakan langkahnya dalam program pembinaan dan kompetisi sepak bola. Mengapa, karena ada orang-orang baik dan pengurus yang turut menjamin anggaran berputarnya roda organisasi dengan berbagai programnya.
Itu sebabnya, kebanyakan organisasi PSSI di tingkat Kota, Kabupaten, dan Provinsi tidak dapat berjalan di relnya, karena diisi oleh pengurus yang rangkap jabatan alias pejabat daerah yang dianggap dapat membantu dan memberikan kemudahan untuk birokrasi dan anggaran. Sayangnya, pejabat daerah yang lalu menjadi pengurus, ternyata banyak juga yang menjadikan organisasi PSSI di daerah sebagai kendaraan politiknya. Dapat dibayangkan pada akhirnya, bagaimana roda organisasi PSSI di daerah itu bergulir. Lebih banyak yang macet karena dua persoalan.
Pertama, karena pengurusnya bukan orang organisatoris, lebih banyak yang numpang nama, kolega pejabat, namun duduk dalam kepengurusan, dan ada juga pengurus yang benar-benar mencari makan dari kegiatan di organisasi.
Kedua, pengurus pejabat, lebih sering nama tercantum, namun eksen (action) dalam program organisasi mandul. Diharapkan dukungan dananya, ternyata hanya punya nama sebagai pejabat. Akhirnya jarang muncul dalam kegiatan organisasi dengan alasan sibuk urusan pejabat padahal hanya alibi menghindar. Namun, sudah memegang SK Pengurus yang dapat dijadikan modal portofolio pribadinya.
Ironis, PSSI daerah lebih kental disebut PSSI yang sama dengan utang bila berhasil menjalankan roda organisasinya. Karena, sudah menjadi garansi bahwa program yang dijalankan, seringkali dimodali oleh pengurus, namun pengurus bersangkutan tidak akan pernah mendapatkan kembali modalnya. Seberapapun uang digelontorkan untuk program sepak bola di daerah, pasti akan habis tanpa ada keuntungan materi atau modal uang kembali. Bila demikian, siapa orang yang mau mengurus organisasi PSSI Daerah bila bukan orang yang memiliki kepentingan?
Ke Mana Pemasukan PSSI?
Kembali ke persoalan utang PSSI yang ditagih oleh La Nyala. Mengapa La Nyala menagih utang ke PSSI? Bagaimana kisah dan peristiwa yang sebenarnya? Bukankah penghasilan PSSI tergolong besar, berasal dari berbagai sumber, antara lain sponsor atau pihak ketiga, sumbangan tidak mengikat, sumbangan pemerintah (anggaran Kemenpora), sumbangan FIFA atau AFC, dan iuran anggota berdasarkan statuta PSSI?