Lihat ke Halaman Asli

Supartono JW

Pengamat

Menggiatkan Budaya Mendengar!

Diperbarui: 1 April 2017   06:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Semoga aksi demonstrasi yang terkenal dengan sebutan 411, 212, hingga 313, menjadi pencerahan kita semua. Aksi tersebut adalah bagian dari komunikasi. Jika komunikasi yang kita lakukan berjalan dengan baik maka orang lain akan mengerti apa yang kita inginkan, bicarakan atau bahkan mereka akan mengerjakan apa yang kita inginkan. Selain itu kita pun dapat mengetahui apakah informasi yang kita sampaikan, apa yang kita butuhkan, dan sebagainya mereka dengar?

Aksi demostrasi tersebut adalah wujud nyata dari praktik demokrasi di negeri ini, yang dilindungi oleh Undang-undang.  Bagaimana sampai aksi tersebut terjadi? Di manakah  tokoh-tokoh dan masyarakat yang turut dalam aksi tersebut dulunya belajar tentang keterampilan berbicara dan mendengar? Tentu di bangku sekolah bukan? Coba kita kembali tengok apa yang terjadi dengan pembelajaran keterampilan berbahasa di sekolah.

Kurikulum pengajaran pelajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi di Indonesia, kendati berkali berganti baju, tetap berdasar kepada empat keterampilan berbahasa. Empat keterampilan berbahasa secara runtut adalah mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Tidak dapat dibolak-balik dalam penyusunan silabus dan rencana pengajaran?

Pun penulisan dalam rapor ataupun penilaian, tetap sama, yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis? Urutan keterampilan berbahasa tersebut, bila dianalogikan sama dengan proses bayi lahir. Sesuai kodratnya, ketika pertama seorang bayi lahir dari rahim ibunya, hal pertama yang akan terjadi pada si bayi adalah menangis, sekaligus menandakan bahwa si bayi lahir normal.

Mengapa si bayi menangis? Sembilan bulan bayi ada dalam kandungan ibunya, maka si bayi terbiasa dengan situasi dalam rahim, suhu hangat.  Maka ketika, bayi kemudian ke luar dari rahim dan merasakan suasana dan suhu yang berbeda dengan di dalam rahim ibu, maka sepersekian detik, si bayi langsung melakukan proses mendengar.

Telinga si bayi langsung mendengarkan situasi dan suasana yang berbeda dengan di dalam rahim. Kulit bayipun langsung menerima rangsangan suhu yang berbeda. Saat itu, bayi melakukan proses keterampilan mendengar melalui telinga dan rangsang pada kulit, karena situasi yang berbeda. Bayi langsung menangis sebagai reaksi ketidaksiapan atas situasi yang berbeda. Pada saat menagis itulah, Ibu dan dokter, langsung bahagia, karena bayi lahir normal.

Saat bersamaan, bayi langsung melakukan kegiatan keterampilan berbahasa berbicara (menangis). Lambat-laun, mata bayi yang tadinya tertutup, akan terbuka, dan dapat mengenali wajah ibunya, bapaknya, dan orang-orang terdekatnya. Ketika itu, bayi melakukan kegiatan keterampilan membaca (melihat, mengamati, memperhatikan, dll). Kemudian bayi menjelma menjadi anak dan cukup umur untuk masuk bangku Taman Bermain/Taman Kanak-Kanak/Sekolah, maka  anak melakukan kegiatan ketermapilan menulis. Itulah analogi keterampilan berbahasa seperti proses kelahiran bayi yang tidak dapat dibolak-balik urutannya.

Bagaimana kenyataan yang ada pada masyarakat bangsa ini dari segi keterampilan berbahasa? Dari berbagai fakta, kaum terdidik, kaum elit, kaum terpelajar, dan tokoh-tokoh di negara ini lebih banyak melakukan aksi keterampilan berbahasa berbicara dan menulis. Sementara keterampilan mendengar dan membaca justru lebih banyak ditinggalkan.

Yang lebih ironis, selain masyarakat bangsa ini tidak gemar dan tidak suka menjadi pendengar yang baik, masyarakat kita pun jauh dari gemar membaca, hingga Kemendikbud meluncurkan program membaca sepuluh menit. Keterampilan mendengar dan membaca adalah pintu utama, masuknya ilmu pengetahuan dan pendidikan bagi seseorang, yang sekaligus akan menunjukkan bahwa seseorang tersebut, terdidik atau tidak ketika melakukan aktivitas keterampilan berbahasa mendengar dan membaca.

Apa artinya, Allah  menciptakan manusia dengan memiliki satu mulut dan dua telinga? Itu mengisyaratkan bahwa manusia harus sering mendengar daripada berbicara. Dari hiruk pikuk yang terjadi, kegaduhan, kekisruhan, berbagai bidang,  pemimpin dan wakil rakyat kita, lebih banyak tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka lebih unjuk keterampilan berbicara!

Di lingkungan yang lebih kecil, di rumah, banyak orangtua yang tidak mendegarkan keinginan dan cita-cita anaknya. Di sekolah, Pemimpin tidak mendengarkan inspirasi Guru. Guru tidak mau mendengarkan,  mengabaikan keinginan dan keluhan peserta didiknya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline