Lihat ke Halaman Asli

**Bulan Buat Maman**

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suasana kampung Banjaran sangat hening malam ini. Suara jangrik bernyanyi bersama malam yang panjang. Udara dingin khas daerah pegunungan terasa sampai ulu hati. Mendung di langit luas kelihatan menghitam. Beberapa kali kilatan cahaya di langit lepas. Pertanda hujan malam akan segera turun. Musim penghujan memang telah datang dengan cepat. Menandakan waktu semakin berlalu dan tidak akan pernah dapat diputar ulang.

Di sebuah rumah sederhana, seorang laki-laki selesai mengajar anak-anak. Rumah itu hanya terbuat dari sedikit papan dan anyaman bambu. Rumah yang sudah reot, dengan lantai dari dari tanah hitam. Laki-laki itu benama Maman, umurnya kurang lebih 28 tahun. Satu-satunya guru mengaji di kampung Banjaran.

“Anak-anak, besok jangan lupa datangnya lebih cepat. Agar pulangnya lebih cepat juga” Maman memberikan perintah pada santri-santrinya.

“Iya, Pak Ustadz” Anak-anak yang berjumlah sekitar sepuluh orang menjawab serentak.

“Jangan lupa juga, hafalan Juz Amma. Siapa yang hafalannya paling banyak, Bapak berikan hadiah” Maman akan memberikan hadiah pada santri yang hafalannya paling banyak.

“Hore..asyik..besok Nadia pasti yang paling banyak” Santri bernama Nadia berteriak girang.

“uh..ndak…ndak besok Randi yang paling banyak” Santri bernama Randi berkata, giginya kelihatan ompong. Kompak seluru santri tertawa. Maman juga ikut tertawa melihat tingkah laku santrinya.

“Pokoknya, siapa yang paling banyak, bapak berikan hadiah” Maman menengahi suara anak-anak yang ribut.

Pengajian selepas Magrib itu diakhiri dengan doa penutup majlis. Anak-anak segera pulang ke rumah masing-masing. Maman sangat mencintai anak-anak di kampung Banjaran. Kelak mereka yang akan mempimpin negeri ini. Negeri ini sudah rusak, jika anak-anak itu tidak diselamatkan, kelak di masa depan tidak ada lagi pemimpin yang adil dan mengayomi.

“Kang Maman, pie kondisi kampung kita?” Haryati menggelondot manja di pelukan Maman.

Saat usia kandungan yang ke delapan bulan, Haryati semakin manja. Jilbab biru tua yang dipakai Haryati justru membuat Haryati semakin cantik. Jilbab biru tua, dibeli Maman di pasar loak dengan harga yang sangat murah. Haryati tetap menerima dengan lapang pemberian Maman. Haryati adalah sesosok wanita sederhana yang sangat jarang ditemukan zaman ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline