Lihat ke Halaman Asli

Belajar, Mengajar dan Guru terbaik

Diperbarui: 24 Juni 2015   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1354699800926949145

Saya merindukan masa-masa belajar bersama di pengajian kampung, lokasinya tak jauh dari rumah. Ini bukan karena saya bagian dari orang-orang yang terjebak dalam masa lalu. Tapi lebih kepada nuansa yang tidak saya temukan di masa sekarang ini. Mengaji, dulu adalah hal mutlak yang harus saya ikuti. Harus disini bukan karena dipaksa orang tua atau guru mengaji, tapi lebih kepada perasaan malu kalau tidak mengaji. Begitu pun dengan ritual ibadah lain, shalat, puasa dan sebagainya. Malu kalau sampai orang di sekeliling melakukan itu tapi kita tidak melakukannya. Belajar Pengajian dimulai selepas maghrib. Saking takutnya datang terlambat, beberapa dari kami yang letak rumahnya berjauhan dengan tempat mengaji sengaja datang sebelum maghrib. Meskipun yang datang terlambat pun tetap diperbolehkan untuk mengikuti pengajian, tidak seperti sekolah pada umumnya yang menyuruh siswa-nya pulang ketika terlambat masuk ke sekolah. Saya cukup sakit hati , ketika dulu waktu sekolah disuruh pulang karena terlambat hanya beberapa menit. Mengajar Beberapa teman terdekat saya mengatakan apa yang saya sampaikan mudah dicerna dan mendorong saya untuk melakukan pekerjaan baru yakni mengajar. Jujur saya pribadi tidak terlalu tertarik akan hal itu, hanya sekadar mencoba memberikan sesuatu yang saya bisa. Tidak lebih. Yang menjadi kendala adalah sama, masalah klasik, administrasi. Ada semacam pertanyaan yang menari-nari di kepala. Kenapa mau mengajar itu harus buat ini dulu, buat itu dulu. Sementara penguasaan akan materi dan praktek dinomor 2 kan. Tapi yang bikin saya heran adalah, kenapa para pengajar itu bisa mengikuti itu. (Mungkin saya lebih cocok mengajar private atau yang sifatnya terbatas :P). Jika ingat guru ngaji saya, beliau tidak ribet bahkan sangat simple dalam mengajar. Dengan pakaian santai tapi tetap berwibawa. Tanpa alas kaki, hanya setelan baju koko, peci hitam dan sarung. Kenapa tidak kemudian sistem pendidikan begitu saja. Tidak perlu seragam, sepatu, atau hal lain yang memberatkan. Dengan titik tekannya adalah murid harus bisa. Guru Terbaik Pengalaman adalah Guru terbaik, mungkin kata-kata ini cukup masyhur di telinga kita. Maka seharusnya inilah yang dijadikan dasar untuk menciptakan manusia purna yang diharapkan. manusia seutuhnya, sesuai dengan amanat sang Pencipta, yakni sebagai pemimpin di muka bumi. Termasuk dalam hal pendidikan. Celakanya kita semua dihadapkan pada situasi dimana pendidikan formal menjadi satu-satunya cara untuk diakui. Untuk diperhitungkan keberadaannya, korelasi pangkat serta jabatan dengan pendidikan yang telah ditempuh dan berapa banyak salary yang didapat. Sekali lagi, Saya kira tidak akan ada habisnya membahas uang, ibarat lampu dinding yang membutuhkan minyak sebagai bahan bakar untuk menerangi gelapnya malam manakala sang rembulan bersembunyi di peraduannya. Gambar diambil dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline