Pandemi sudah memasuki tahun kedua yang mampu memporak - porandakan sendi - sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbeda dengan resesi yang terjadi tahun 1998 maupun 2008 yang masih banyak didukung oleh kekuatan sektor rill seperti usaha kecil menengah yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi.
Resesi pada tahun tersebut masih ada pergerakan manusia, barang maupun jasa. Sehingga mobilisasi manusia, barang dan jasa mampu memberikan daya dukung bagi adanya transaksi yang mampu memberikan nilai tambah bagi para pelaku ekonomi.
Sedangkan resesi saat ini sangat berbeda dengan resesi pada tahun 1998 maupun 2008. Saat ini adanya pembatasan terhadap pergerakan manusia, barang dan jasa yang menyebabkan seluruh aspek mengalami kontraksi yang cukup hebat.
Dampak langsungnya adalah adanya perubahan dan penyesuaian hampir semua parameter target kinerja perusahaan, Lembaga, organisasi agar mampu bertahan ditengah goncangan saat ini.
Sudah banyak bertumbangnya para pelaku ekonomi yang merasakan akibatnya pandemic saat ini bahkan perusahaan yang mengelola supermarket besar ternama dan mempunyai gerai cukup banyak pun ikut tumbang. Tak hanya itu saja, maskapai penerbangan yang menjadi icon penerbangan yang Indonesiapun menjadi korbannya.
Penyebabnya beberapa diantaranya adalah pembatasan ruang gerak dan mobilisasi manusia. Tentu hal tersebut menjadi satu konsekuensi yang logis bagi para pengambil kebijakan untuk mengambil langkah yang tegas agar aspek kemanusiaan menjadi prioritas meskipun aspek lainnya harus menjadi korban.
Hal tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia saja, banyak negara yang mengambil langkah -langkah yang tidak populis demi menyelamatkan rakyatnya.
Kondisi tersebut diatas perlu kita sikapi secara arif dan bijaksana agar kondisi sosial dan ekonomi tidak berujung pada gejolak sosial yang menjadi petaka bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentu kita tidak ingin mengulang sejarah tahun 1998 dimana terjadi krisis ekonomi dan krisis sosial.
Kita mesti melihat lebih dalam lagi agar badai Covid-19 ini segera berakhir di negeri tercinta ini. Perlu adanya terobosan - terobosan baru dalam menjaga eksistensi organisasi, Lembaga maupun perusahaan. Bertahan mungkin lebih baik dibandingkan tumbang dengan menerima segala risiko yang muncul, baik baik aspek finansial maupun aspek sosial.
Pada akhirnya pesimisme menjadi ketakutan yang luar biasa sampai-sampai untuk menancapkan target tumbuh bagi beberapa perusahaan mungkin tak sanggup.
Hal tersebut tentu bukan akhir dari segalanya mengingat sebagai insan, kita masih memiliki daya pikir untuk terus mengembangkan kreatifitas dan innovasi agar mampu memberikan resep yang manjur dan solutif untuk mengatasi kondisi Pandemi.