Lihat ke Halaman Asli

Supadilah

Guru di Indonesia

Metafora Jenderal Kardus

Diperbarui: 23 Agustus 2018   08:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar : dir.indiamart.com

Pemilihan presiden (pilpres)  2014 lalu menyisakan istilah kecebong dan kampret yang tetap viral hingga pilpres selanjutnya di 2019. Belum sampai di tahun tersebut, sudah muncul istilah negatif atau miring yaitu jenderal kardus. Istilah ini digulirkan oleh politisi partai Demokrat Andi Arief lantaran kecewa dengan sikap Prabowo yang dianggap inkonsisten. 

Kiasan jenderal kardus menanglah terasa merendahkan. Ini tidak lain karena sifat kardus yang dianggap kurang berkualitas. Kardus, biasanya dipakai untuk pembungkus. Wadah mi instan,  jajanan, atau makanan. Daya kekuatannya kurang. Lembek jika kena air. Kalau sudah begitu, tidak bisa dipakai lagi. Mungkin segera dibuang. Dan jika diambil oleh pemulung, harga jualnya tidak seberapa.Tidak (kurang) berharga.

Namun, setelah mengeluarkan sindiran itu, ternyata Demokrat merapat ke kubu Prabowo. Agaknya Andi Arief perlu meralat ucapannya. Atau,  perlu memoles Jenderal Kardus supaya bisa terlihat lebih ciamik dan cantik sehingga punya harga yang lebih mahal.

Dalam dunia politik, sindiran Andi Arief tersebut masih tergolong 'ringan'.  Ada yang lebih berat. Dunia politik itu ringan sekaligus kejam. Ringan, sebab siapa saja bisa dan biasa ngomong tentang politik, meskipun sekadar sebagai komentator atau pemerhati politik, walaupun tidak profesional. 

Dunia politik bisa dikatakan kejam sebab penuh dengan intrik. Menjadi politisi, siap-siap dengan kritik, caci-maki, hujatan, atau fitnah. Misalnya presiden Jokowi kerap difitnah keturunan PKI oleh pendukung Prabowo. Sebaliknya, Prabowo difitnah sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Kejamnya lagi,  fitnah-fitnah itu juga hanya memberikan efek pada keluarganya. Anak atau isteri yang tidak ada sangkut pautnya pun kena imbasnya. Melebar kemana-mana. Sanak saudara pun bisa juga terkena. Mereka pun dihukum oleh publik. Politisi yang bersalah (jika pun benar), keluarga yang dihukum. Hukumannya merembet kemana-mana.

Berjihad Politik Santun

Diyakini,  pilpres 2019 akan tetap panas. Peran black campaign akan tetap ada, seperti pilpres yang lalu. Dan sepertinya akan begitu. Tidak menunggu lama, usai deklarasi wakil presiden yang dipilih oleh kubu Jokowi atau Prabowo, dalam hitungan menit saja sudah ramai sosial media saling ungkap dan saling unggah kekurangan wakil presiden lawan. Juga fitnah-fitnah sebagai bumbunya. 

Saya katakan fitnah,  karena itu belum terbukti dan belum teruji. Misal, KH Ma'ruf Amin dikatakan tidak mengukur diri, sudah tua kok mau-maunya dijadikan alat untuk meraup dukungan dari kalangan umat islam atau santri, atau Sandiaga Uno yang dijadikan calon wakil presiden karena mahar 500 miliar.

Fitnah-fitnah itu diumpankan dengan tujuan melemahkan dan mengalahkan lawan,  meskipun dengan cara curang. Banyak orang yang termakan dengan umpan itu.  Sosial media punya pengaruh besar memperbesar perseteruan itu. Dalam grup Whatsapp,  Facebook,  Twitter dan lainnya sudah panas saja debat kusir. Saling menggunggulkan sekutu, saling menjatuhkan seteru. Padahal pilpres masih cukup jauh. Tapi panasnya sudah mulai sekarang. Maka, kita akan capek di pilpres mendatang jika terus berseteru. Lebih panas sosial media ketimbang panas matahari.

Belajar dari pilpres sebelumnya, menghadapi pilpres mendatang, agaknya kita perlu berjihad,  menciptakan politik yang santun dan elegan.  Kenapa saya katakan jihad? Jihad secara bahasa artinya bersungguh-sungguh, berupa sekuat tenaga dan serius mewujudkan kebaikan. Tidak cukup dengan niat (biasa)  saja. Sebab  kadang niat saja tidak cukup. Pasti akan ada godaan dan hambatan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline