Lihat ke Halaman Asli

Ngarai Jingga

Diperbarui: 23 Februari 2023   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

NGARAI JINGGA

 Ada ribuan makna hakiki dalam setiap nafas yang terhembus, dalam setiap riuhnya gesekan-gesekan daun dipagi hari, pada setiap tetes aliran embuh yang meleleh menelusuri serat-serat pohon.
 Perlahan namun pasti, seonggok nafas mulai bangkit dari tidur panjangnya, menghirup dalam-dalam udara dalam keheningan malam, "mungkinkah hilang hanya karena tradisi yang mencengkeram seperti ini?", kalimat dari bibir Lia meuncur beserta rintik-rintik gerimis dari matanya, "kalau memang ahir ceritanya seperti ini, mengapa dulu aku membuka hati untuknya?".
Dalam simfoni kehidupan yang mulai redup, Lia, gadis cilik yang menjadi labuhan sayang orang tuanya, bergumam pada dirinya sendiri, seakan mengorek-ngorek pekatnya suasana hati.
.....................................................
 "Kok,Rian sekarang jarang main ke rumah lagi, Lia?"
 "Mungkin sibuk, Bunda"
 "Ah, masak sibuk setiap hari", sambil melipat pakaian yang akan di setrika,Buk Siti memandang lekat pada buah hatinya, "Padahal Ibu kangen lho dengan anak itu, rian itu lain dari pemuda sebaya kebanyakan, Lia, anaknya sopan."
 "Ya kapan-kapan Lia suruh rian ke sini, Bunda", Perlahan namun pasti, mendung di hati Lia berubah menjadi fatamorgana gerimis. Hatinya tersayat seakan luka lama kembali menganga dalam diamnya hati.
 Rian, remaja ABG yag pernah mengisi riuhnya hati Lia, yang secara bertahap mampu meruntuhkan sisi rembulan dalam relung jiwanya. "Ah, mengapa aku masih saja mengingatnya? Bukankah aku dan Rian sudah tidak punya komitmen lagi?", Lia bergumam seakan berbicara pada dirinya sendiri.
 "Lia, Lia, lia.!"
 "Eh, iya, anu, ada apa, Bunda?" tergagap Lia menjawab goncangan tangan Bunda di bahunya.
 "Anak gadis kok melamun, pamali' lho,Lia." Tersenyum sang bunda sambil melirik Lia yg seketika itu juga mukanya berubah merah ranum "Tuh, sudah adzan magrib, ayo cepat ambil wudlu terus kita sholat"
 "Iya, Bunda"
..................................................................................
 Hidup memang tidak selamanya sesuai dengan rencana manusia, kadang takdir bekata lain dari apa yang sedang kita usahakan. Tetapi pasti ada selaksan makna yang tersirat dalam likunya jalan hidup, ada sejuta hikmah yang dapat di petik dari semua peristiwa. Syariat dan Adat adalah satu paket kehidupan yang tidak mungkin ternafikan salah satunya, dalam Syariat pastilah akan terbesit satu Adat yang terjalani, dalam Adat seharusnya ada Syariat yang di tempuh.
  "Tidak bisa lho, Le, iku nyalahi aturane dewe iki"
 "Tapi itu kuno, Mbah,sekarang sudah ndak jaman lagi yang seperti  itu!!",pembelaan dari bibir Rian meluncur dengan amarah yang membuncah, "Bahagia atau tidak, dapat rezeki atau tidak, bahkan hidup atau mati manusia ndak ada hubunganya dengan hari lahir, Mbah "
 "Bener iku, Le" tukas sang Simbah sambil membelai rambut cucuya dengan sayang, "tapi bahagia, rezeki bahkan harta kan harus di jemput tho, ndak bisa langsung ujug-ujug dateng sendiri, dan salah satu jalan mencari kebahagiaan itu ya ini, ya seperti ini, Le"
 "Tapi, Mbah"
 "Uwis, ora usah mbantah sama simbah, pokoknya simbah ndak setuju", potong simbah sambil beranjak dari duduknya.
 Mendung di hati Rian perlahan berubah menjadi badai yangmenghembuskan selaksa amarah, nafas kebencian pada adat setiap detik mampu memenuhi rongga yang kemudian menutup kaca hati dengan noktah-noktah debu yang tak berperi. Karena Adatlah yag selama ini mengungkung dirinya dari terbebasnya belenggu kehidupan, Adatlah yangmenjadikan dirinya terhempas jauh dari suasana hati yang ramai di bicarakan manusia dengan istilah CINTA.
 "Entahlah..." desah Rian seakan membuang jauh penatnya hidup dari dalam otaknya, ada seribu tanya yang bergelayut dalam dirinya, terbesit pembelaan hakiki yang ingin di sampaikan pada angin semilir yang menyapu bersih bulir-bulir fatamorgana kehidupan, ada milyaran kegalauan di jiwa yang ingin di bagi pada gelayutnya awan di angkasa yang mampu menelan separuh rembulan yang kian redup.
.............................................................
 "Apakah hari lahir seorang manusia itu bisa berdampak pada hidupnya, Yu, apakah tanggal lahir insan akn menentukan bahwa dia akan hidup bahagia atau tidak?",bertubi-tubi Lia melontarkan pertanyaan kepada Ayu, sahabatnya, sambil melipat sajadah yang baru saja dia pakai untuk sholat dzuhur di mushola sekolah.
 "Maksutnya", Ayu balik melontarkan pertanyaan yang sejatinya tidak di butuhkan saat-saat seperti ini.
 "Apa jodoh itu di tentukan dengan kecocokan tanggal dan hari lahir?", mengulangLia degan pertanyaan yang sama.
 "Adat itu sejatinya tidak boleh berseberangan dengan syari'at, Lia" teduh mata Ayu menatap karibnya, seakaan ingin member kekuatan untuk Lia, "Syari'at hadir karena meluruskan adat, jadi bukanlah adat yang hadir untuk meluruskan syari'at. Lihatlah bagaimana Al-qur'an turun dengan bahasa indahnya, karena bangsa Arab jahiliah adalah bangsa yang ahli dalam sya'ir, begitupun islam hadir dengan segala ketentuanya yang mengangkat derajat kaum kita, kaum hawa, yang dahulu kalau ada bayi perempuan lahir itu akan di anggap aib."
 "Tapi mengapa seperti ini kejadian yang ku alami, Ayu"
 "Allah mencurahkan Sayangnya untuk mahluk tidak sama seperti tercurahnya saying dari mahluk untuk mahluk, Lia. Percayalah, Allah menjadikan kamu melalui jalan ini karena Allah sayang denganmu", perlahan di genggamnya tangan Lia dengan penuh kasih sebagai sahabat, "sewaktu kita berdo'a padaRabb untuk di dekatkan dengan seseorang yang kita cntai, tap Allah malah menjauhkan kita dengan orang tersebut, maka sebenarnya Allah telah menjaga hati kita untukNya, Lia, karena Rabb ingin hati kita tetap bersih dari cinta semu yang telah di bisikkan iblis di hati hambNya"
 "Jadi apakah jalanku ini salah?"
 "Cinta dan saying adalah anugerah agung yang di berikan oleh Yang Maha Agung pada setiap diri manusia, hanya kadang cinta yang di berikanNya itu kita pergunakan untuk menjauhi Allah, bukan untuk mendekatiNya, kita lebih mencintai mahluk di banding mencintai Dzat yang memberi cinta itu sendiri, Lia"
 "Aku sudah melenceng jauh dari jalanNya", hembusan semilir angin yang merasuk masuk melalui celah pintu telah mampu menggantikan mendung di hati Lia berubah menjadi rintik-rintik air mata yang memancar dari sudut matanya.
 "Sabarlah sahabatku, engkau adalah salah satu insan yang telah di payungi oleh RahmanNya", ungkap Ayu seraya memeluk sang sahabat terbaiknya, "engkau pasti kuat menjalankan amanah yang di bebankan padamu, engkau pasti  akan tetap tegar menjalani teguran dariNya".
 Lia hanya mampu sesenggukan dalam deras tangisnya, matahari yang sedari tadi bersinar seakan mampu merasakan gundah di hati seorang manusia dengan redupnya cahayanya, sebongkah hati yang tersadar dalam dekapan sang sahabat menggoncang seisi jagat raya. Hanya hati yang bergumam dalam syahdunya nafas kedamaian seakan mampu menghipnotis diri dalam riuhnya gemerlap dunia.
....................................
 "Allah mempunyai banyak cara untuk menunjukkan Kasih SayangNya pada kita, Rian".
 "Sama sekali tidak.!", sergah Rian dengan mata yang menghantam jantung Lia, "aku tiadak akan pernah mau tunduk dalam kancah istiadat yang tidak berpusara"
 "Jikalau memng aku adalah tulangrusukmu, biarlah Allah yang akan menjaga diri kita untuk menujuNya, Rian", akhirnya air mata Lia tidak sanggup terbendung oleh kegagahan hati yang masih di liputi awan yang menggantung, "Allah menjadikan adat untuk tetap menjaga hati kita berdua agar selalu tunduk pada cintaNya,Rabb tidak akan pernah pergi dari diri seorang hamba, termasuk kita berdua, Rian. Kita yang dulu sempat terjerambab ke dalam lumpur kehinaan cinta dunia dan cinta mahluk, sudah sepantasnya mengambil hikmah atas kejadian ini",
 "Tapi, aku masih mencintaimu, Lia"
 "Begitupun hati ini, Rian", tertunduk wajah Lia menyembunyikan keremangan cahaya yang mulai bersinar di parasnya, "tapi cinta yang hakiki adalah cinta yang di dasari akan cinta kepadaNya, bukan hanya cinta dalam arti semu, Rian, percayalah, seandainya memang kita di takdirkan melangkahkan kaki bersama untuk menuju SurgaNya, maka biar Allah sendirilah yang menggiring hati kita untuk untuk saling tersenyum dalam ranahNya"


 Hati Rian bergejolak dalam ruang waktu yang bertirai, perlahan namun pasti, hati yang selama ini terbelenggu dalam dekapan noktah semu seakan menemukan titik cahaya dalam remangnya dunia.
 "Ya, aku yakin kalau Allah akan mempertemukan hati kita dalam rengkuhanNya"

BG city,
"dari kisah nyata_dengan banyak tambahan"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline