Lihat ke Halaman Asli

Sunu Purnama

Pria sederhana yang mencintai dunia sastra kehidupan.

Arus Balik Pemikiran Pram

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arus Balik Pemikiran Pram
" Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada kebebalan adalah juga kebebalan."
~ Pramudya Ananta Toer
Sudah lama sekali saya ingin membaca buku-buku karya Pram, yang di era Orde Baru saat pemerintahan mendiang Presiden Soeharto, karya-karya beliau dilarang terbit. Ada sebentuk ketakutan dari Orde itu tentang pemikiran-pemikiran Pram yang dianggap berseberangan dan membuat gerah penguasa saat itu.
Selama bulan Desember ini, saya telah membaca buku Pram yang berjudul "Arus Balik". Sebuah Epos sejarah tentang kejayaan Maritim Majapahit yang mulai runtuh digantikan kekuatan darat dari Kerajaan Demak bersama arus perubahaan budaya dan agamanya yang disajikan dalam bentuk novel sejarah yang terdiri dari 760 Halaman.
Peraih Penghargaan Magsaysay 1995 ini, bersama Moriko Hiramatsu (dari Jepang, untuk Pelayanan Pemerintahan), Asma Jahangir (dari Pakistan, untuk Pelayanan Umum) dan Ho Ming The (dari Taiwan, untuk Kepemimpinan Masyarakat) memang pantas disebut pengarang yang mumpuni.
Dengan gaya bahasa dan kemampuan imajinasinya yang hidup mampu menggerakkan tokoh-tokoh di dalam ceritanya menjadi sedemikian hidup dan sejarah menjadi begitu enak dipahami dan dipelajari.
Tidak heran bahwa Pram dianggap mampu,
" Menerangi dengan kisah2 cemerlang kebangkitan historis dan pengalaman modern Indonesia."
Pesan - pesan Pram
Pram meminjam mulut tokoh-tokohnya untuk mengutarakan pemikirannya, salah satunya bernama Rama Cluring untuk menyampaikan pesan-pesannya :

" Sayang kau tak berani muncul! Kau, orang muda, sama halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di bandar-bandar daripada mendampingi seorang suami di sawah dan ladang. Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia." (Hal:9)

Kegelisahannya akan kondisi perubahan telah digambarkannya dengan baik,
"Saluran yang dulu di bikin di mana-mana sekarang sudah mendangkal. Kapal besar tak lagi dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungai-sungai di pelihara. Di jaman Majapahit para punggawa disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk memata-matai kawula. Mereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala desa maupun bapa-bapa mandala kena teguran. Dengan demikian bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar." (Hal: 11)

Ketika perubahan dilihatnya sebagai sebuah tanda,
"Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, orang tua tak tahu sesuatu kecuali
kesenangannya sendiri..."(Hal:11)

Dan ketika seni dan budaya menjadi sebuah hal yang indah, namun pada akhirnya...
"Tarian adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya." (Hal :85)
"Kata orang Gusti Adipati Tuban merasa segan terhadap putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam, jadi guru pembicara dimana-mana, jadi Ulama,kata orang. Dan batu berukir dalam peraturan Islam,katanya barang-barang jahat." (Hal:52)

Gambaran Cinta Yang Tulus
Mengambil tokoh desa yang bernama Galeng yang cinta kepada teman sedesanya yang jago menari bernama Idayu, Pram membeberkan sebuah gerak cinta kasih yang mampu menahan terpaan angin topan dan lindu yang datang bersama hujan deras kehidupan,
"Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak-sorai untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada akan habis-habisnya." (Hal: 91)

"Nah,nak. Begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah wanita utama seperti Idayu. Untuk cintanya dia berani hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir. Bukankah itu kata-kata dalam mazmur sendiri." (Hal:94)
Dan politik kekuasaan selalu tampil membawa jargon-jargon kebaikan yang paling manis untuk mengelabui, dan untuk itu rakyat mesti membayar mahal untuk harga sebuah konspirasi,

" Tetapi Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari selama Majapahit yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk memberikan perkampungan dan pengajaran Islam di pelabuhan utara Majapahit, Gresik. Ialah yang membentuk persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara Islam sambil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit. " (Hal: 104)

" Dari keturunan ke keturunan, dari penguasa yg satu pada penguasa yang lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah peringatan itu: waspadalah kau raja, begitu kau injak bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir kesayangan.

"Awaslah jangan terlena, karena lena adalah binasa." (Hal: 115)
Mengurbankan rakyat kecil adalah hal biasa, wajar bagi seorang penguasa yang telah begitu lena oleh nikmatnya kursi empuk kekuasaan, hangatnya tubuh mulus perempuan dan nyamannya harta yang melimpah.
Wiranggaleng, Sang Senopati Tuban

" Semua dimulai dengan cipta, kata Rama Cluring. Semua itu, tak bakal ada tanpa cipta. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin pertanda ada daya cipta di dalam jiwanya. Apakah cipta? Guru-gurunya dulu belum pernah ada mengajarkan. Ia tak tahu. Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaik-baiknya tanpa mengindahkan soal-soal selebihnya. Dan inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang Adipati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa restu seorang raja? Benar. Semua Benar. Dan terpambang di hadapannya kini hari depan yang gilang gemilang itu: Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau...semua akan terjadi karena jasanya, jasa Wiranggaleng. Demak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban. Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba haridepan. Mereka tak tahu. (Hal:182)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline