Lihat ke Halaman Asli

Berselingkuh, berdosakah saya?

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perselingkuhan ini sebenarnya terpaksa karena keadaan. Bukan niat asli saya untuk berselingkuh. Saya masih mencintai apa yang saya lakukan dan saya rasakan. Walau kadang pada posisi zona nyaman (keadaan mapan) keinginan untuk berselingkuh  itu ada, namun tidak pernah terlaksana, hanya sekedar melirik-lirik saja.

Namun keadaan berubah ketika krisis ekonomi global melanda dunia pada tahun 1997/1998. Zona nyaman saya terganggu. Perusahaan tempat saya mengais nafkah goyang. Pemutusan hubungan kerja (PHK) di kantor pusat di salah satu negara Eropa sana dimulai sejak tahun 1995. Dampaknya baru terasa di Indonesia dua tahun kemudian. Di akhir tahun 1997 karena daerah operasi di Indonesia disusutkan maka sebagian besar karyawan dipensiun dini. Tiada pilihan lain kecuali harus menerimanya. Namun demikian agar tidak timbul gejolak, karyawan diberi kompensasi uang pensiun dini lumayan bagus ("golden shake hand").

Pada suatu pelatihan manajemen beberapa tahun sebelum pensiun, instruktur membuat angket agar peserta menulis hal-hal yang menjadi kekawatiran dalam hidup ini. Paling sedikit lima hal. Nomor satu hal yang paling mengkawatirkan, makin besar nomor urut makin berkurang tingkat kekawatirannya.

Saat itu saya paling kawatir bila kena PHK. Pikiran saya kalut membayangkan PHK itu. Biaya hidup untuk membiayai anak-anak yang sebentar lagi masuk SMP dan SMA semakin membesar. Belum lagi kalau nanti mau kuliah. Untuk kebutuhan sehari-hari, bayar listrik, telpon, biaya transportasi juga tidak mau kompromi. Sumuanya mulai merangkak naik! Seolah bila tidak bekerja di perusahaan ini langit akan runtuh. Hidup menjadi gelap. Saya sangat kawatir. Mau kerja di mana lagi kalau di banyak perusahaan juga melakukan hal sama, PHK ! Sungguh berat rasanya.

Waktu bergulir lambat. Namun pasti. Ketika saya memutuskan ambil program pensiun dini (penghalusan istilah PHK ?) semuanya berjalan biasa-biasa saja. Kekawatiran saya beberapa tahun lalu lenyap, tidak berbekas. Entah kapan mulainya, saya juga tidak tahu. Kesadaran saya menghadapi hidup hanya bergantung kepada Yang Maha Kuasa, barangkali itu yang membuat saya tenang-tenang saja memasuki masa pensiun yang dipaksakan (PHK).

Kesadaran saya menghadapi hidup hanya bergantung pada Yang Maha Kuasa, ini awal perselingkuhan saya. Saya tidak bergantung pada perusahaan, perorangan atau siapa/apapun. Madep-mantep, bersikukuh hanya bergantung kepadaNya.

Ketika sebagai karyawan perusahaan konsentrasi pikiran hanya pada bidang pekerjaan yang menjadi tanggungjawab saya. Di bidang teknik geologi. Setiap akhir bulan menerima gaji. Jamsostek dibayar oleh perusahaan, jaminan kesehatan ditanggung oleh perusahaan juga. Karena merasa kecukupan membiayai kebutuhan hidup tak terpikirkan untuk mencari tambahan penghasilan. Sekali-kali  mencoba berbisnis yang tidak memerlukan banyak modal ( bergabung dengan multi level marketing), namun gagal karena tidak saya tekuni dengan benar.

Saya harus banting stir. Saya harus keluar dari zona nyaman. Karena keterpaksaan itu saya berselingkuh. Dari ilmu yang selama ini saya tekuni di bidang teknik ke bidang pemasaran. Saya jatuh cinta pada bidang pemasaran. Saya ingin menjadi profesional. Sambil praktek saya banyak membaca buku pemasaran dan manajemen. Saya banyak mengikuti seminar yang diadakan oleh grup multi level marketing. Dari sini saya banyak belajar tentang kepribadian, motivasi diri dan belajar bicara di depan umum. Saya diajari untuk selalu berpikir positif, harus ulet, tangguh, tidak kenal putus asa. Kalau gagal jangan dihitung berapa kali gagal, namun hitung berapa kali bisa bangkit ! Hah, full semangat !!!

Pada awal menekuni bidang pemsaran memang berat rasanya. Dari yang biasa hanya memikirkan pekerjaan yang akrab sejak di bangku kuliah dan tinggal di kantor yang nyaman tiba-tiba harus memulai segalanya dari nol. Banyak keluar kantor, harus bertemu dengan banyak orang, banyak nelpon orang untuk bikin janji pertemuan, bikin brosur, pasang iklan dan lainnya. Pernah pada suatu saat karena mengalami penolakan saya ngambeg tiga hari tidak masuk kantor. Rasanya sakit sekali. Badan terasa lemas. Mau ngerjain apapun tiada gairah. Saya jatuh sakit. Panas dingin rasa badan. Namun karena dorongan semangat dari teman yang lebih senior (walau usia jauh dibawah saya) saya bangkit lagi. Lama kelamaan terbiasa bila mengalami penolakan dan bisa tersenyum walau ditolak.

Hidup hanya tergantung kepadaNya ternyata nyaman. Tidak "kemrungsung" / tergesa-gesa. Apapun yang kita dapat kita syukuri. Banyak-sedikit, untung-rugi kita syukuri. Dalam bekerja penuh semangat dan penuh keikhlasan. Hanya kepadaNya semua pengabdian kerja, kita tujukan. Seolah semua langkah, langkahNya;  semua gerak, gerakNya; semua bicara, bicaraNya. Di punggung kita ada anak-isteri, keluarga yang harus kita nafkahi. Barangkali ini cara saya memaknai bekerja adalah ibadah. Maha Suci Engkau Ya Allah, segala puji bagiMu Ya Allah, Maha Besar Engkau Ya Allah.

(http://www.formulabisnis.com/?id=sunu_g)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline