Kebijakan privatisasi bermula dari pemikiran dalam aliran ekonomi sosialis dan ekonomi kapitalis. Ekonomi kapitalis yang dimaknai sebagai sistem ekonomi yang melibatkan peranan masyarakat sebagai pelaku ekonomi berbanding terbalik dengan ekonomi sosialis yang berdasarkan pemikiran Karl Marx diasumsikan sebagai proses transisi menuju kapitalisme. Kapitalisme yang senantiasa berlandaskan pada mekanisme pasar dianggap dapat bertahan dalam kurun waktu yang lama dan digemari karena memberikan ruang bagi perubahan yang lebih besar apabila dibandingkan dengan pemikiran lainnya (Heilbrowner dalam Visions of The Future 1995). Privatisasi dan kapitalisme saling berkaitan, keberadaan privatisasi dianggap sebagai upaya dalam meningkatkan kesejahteraan melalui kegiatan ekonomi yang memperbesar persaingan antar lembaga negara.
Di Indonesia pembahasan mengenai privatisasi dimulai tahun 1990-an yang menjadi langkah pemerintah dalam menyelesaikan defisit anggaran pada krisis ekonomi 1997. Privatisasi di Indonesia menjadi upaya negara dalam mengatasi kerugian melalui penjualan saham yang dimaksudkan untuk memperoleh laba sekaligus meningkatkan kinerja perusahaan negara. Kebijakan privatisasi BUMN melalui keberadaaan regulasi UU Nomor 19 Tahun 2003 diyakini sebagai solusi dalam meningkatkan kinerja BUMN serta pengoptimalan proses pengawasan BUMN. Selain itu, privatisasi hadir melalui pemikiran bahwa sudah semestinya pemerintah tidak meningkatkan kinerja organisasi dalam memperoleh laba melainkan cukup berfokus pada tugas-tugas pemerintahan saja.
Privatisasi BUMN masih diyakini sebagai bentuk pertimbangan politis yang dipengaruhi oleh berbagai kepentingan dalam memanfaatkan keberadaan perusahaan negara. Hampir sebagian besar Badan Usaha Milik Negara di Indonesia yang berstatus sebagai Perseroan Terbatas, Perseroan Terbatas Terbuka, hingga Perusahaan Umum memang dimampukan untuk mengejar keuntungan semata. Kondisi ini berbenturan dengan asumsi bahwa privatisasi sudah semestinya dilakukan, mengingat peran pemerintah seharusnya berorientasi pada pelayanan publik, bukan bisnis yang tidak menjadi bagian dari core competence pemerintah.
Kebijakan Privatisasi dalam Pertimbangan Ekonomi dan Politik
Keputusan privatisasi BUMN yang diambil pemerintah dalam pengelolaan perusahaan negara mendatangkan konsekuensi dengan minimnya keterlibatan pemerintah dalam perusahaan - perusahaan yang telah diprivatisasi. Berkurangnya kekuasaan atau kepemilikan negara terhadap perusahaan yang dikelola ini juga berkaitan dengan tingkat persaingan produksi barang dan jasa terkait berubah menjadi free trade. Selama ini negara dikenal sebagai pemilik aset dan modal pada perusahaan penyedia kebutuhan-kebutuhan penting yang menyangkut hajat hidup masyarakat luas. Kebijakan privatisasi dalam pertimbangan keputusan ekonomi melibatkan upaya menciptakan pasar yang kompetitif serta penyediaan sumber daya dalam bentuk barang dan jasa secara lebih efektif dan efisien. Sedangkan dalam segi pertimbangan politis melibatkan pelaksanaan globalisasi perdagangan dalam bentuk pasar bebas (free trade). Privatisasi dalam pandangan masyarakat sendiri masih sangat dikaitkan dengan kepentingan politis dibandingkan ekonomi. Hal ini sejalan dengan asumsi bahwa negara-negara berkembang yang membutuhkan pinjaman kepada World Bank dan International Monetary Fund (IMF) cenderung melakukan privatisasi sebagai persyaratan memperoleh pinjaman.
Pembahasan mengenai privatisasi hingga saat ini masih menemui asumsi - asumsi yang saling bertentangan. Beberapa hal diantaranya datang melalui anggapan bahwa Indonesia memiliki keterbatasan dalam kontribusi peningkatan kinerja BUMN. Stigma masyarakat yang meyakini bahwa kebijakan ini masih diartikan sebagai "penjualan kepada asing" mengingat daya beli dalam negeri yang cenderung rendah. Selain itu privatisasi dianggap tidak berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara signifikan. Hal ini dikarenakan laba yang diperoleh oleh BUMN tidak bersinggungan langsung dengan alokasi besaran APBN yang diperuntukkan bagi masyarakat.
Analisis keputusan privatisasi yang diambil dari aspek ekonomi meyakini bahwa kinerja swasta dalam menjalankan perusahaan lebih efisien sekaligus berprofit. Permasalahan BUMN yang berkaitan dengan inefesiensi kinerja dianggap dapat diselesaikan melalui campur tangan swasta. Privatisasi yang diamati melalui pertimbangan ekonomis bertujuan untuk meningkatkan efisiensi kinerja perusahaan sekaligus memperoleh laba dengan strategi dan inovasi yang diadopsi melalui kinerja pihak swasta. Kinerja yang optimal serta perolehan laba yang menjanjikan akan berimbas pada pendapatan anggaran negara yang meningkat. Pertimbangan lain mengenai privatisasi BUMN yang diamati dari segi keputusan ekonomi dikarenakan kekayaan yang berasal dari BUMN menjadi kekayaan negara yang dipisahkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), namun tetap berkontribusi. Sedangkan privatisasi melalui pertimbangan secara politik berkaitan dengan kepemilikan sebagian besar saham pada BUMN listed oleh negara.
Pemikiran bahwa kendali negara atas kinerja BUMN menjadi sangat minim setelah privatisasi tidak sesuai dengan metode privatisasi yang hanya menjual sebagian dari kepemilikan saham Singkatnya sebagian besar saham perusahaan negara masih milik pemerintah. Kebijakan privatisasi BUMN sendiri sudah semestinya lebih berorientasi pada pertimbangan ekonomi dibandingkan politis. Hal ini dikarenakan privatisasi bertujuan untuk menyelamatkan anggaran negara melalui dana segar yang diperoleh dari penjualan saham BUMN.
Privatisasi dalam Pusaran Kinerja BUMN, Sudah Optimalkah?
Perdebatan masyarakat dalam pilihan privatisasi bukan tanpa sebab. Hingga nyaris 25 tahun privatisasi pertama kali diberlakukan di Indonesia, problematika kinerja BUMN masih belum terselesaikan. Bukan untung justru buntung, tidak sedikit kerugian yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan dalam lingkup BUMN pasca privatisasi. Diantaranya PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dengan kerugian mencapai US$ 898,65 juta di tahun 2021. Tidak hanya permasalahan kerugian, yang baru-baru ini terjadi kasus gagal bayar oleh PT Asuransi Jiwasraya dan korupsi PT Asabri juga menjadi cerminan masih kacaunya kinerja BUMN.
Pro kontra privatisasi BUMN di tengah masyarakat hadir melalui pandangan bahwa BUMN bukan sekadar penghasil keuntungan semata namun juga menjadi perusahaan negara dengan optimalisasi kinerja yang mumpuni. Meskipun berkontribusi bagi pendapatan negara, laba BUMN tidak serta merta menjadi sumber pemasukan utama APBN apabila dibandingkan dengan sumber penerimaan pajak. Artinya selain menghasilkan keuntungan melalui privatisasi, BUMN harus mampu menghadirkan kinerja yang optimal untuk dapat bersaing dengan penyedia layanan swasta. BUMN harus menjadi aktor yang berkontribusi bagi pembangunan negara untuk menunjukkan keberhasilan kinerja melalui privatisasi. Namun perusahaan negara yang dijalankan dengan fungsi agent of development juga tidak bisa berjalan tanpa menghasilkan profit bagi negara. Sehingga diperlukan pengoptimalan dari kedua aspek yakni keuntungan yang berkontribusi bagi APBN sekaligus pelaksanaan kinerja perusahaan yang memadai.