Lihat ke Halaman Asli

Angelica Jayanti

s'il vous plait

Pandemi Tak Berkesudahan, Hari-Hari Penuh Ironi hingga Seteru dengan Saudara Sendiri

Diperbarui: 16 Juli 2021   08:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

2 Maret 2020. Pertama kalinya, kasus infeksi Corona Virus Disease terdeteksi di Indonesia. Hingga saat ini, tak pernah terlihat hilal pagebluk akan segera berakhir, angka kasus justru kian deras mengalir. Keadaan belum kian membaik, justru permasalahan semakin pelik. Kepatuhan masyarakat memudar dilanda kebosanan, ketakutan hilang tuntutan kebutuhan. Kini, radar-radar kedaruratan tidak terhindarkan, ruang isolasi penuh, oksigen menipis, hingga kelelahan tenaga medis.

Belum juga habis tantangan melawan tingginya angka kasus, tuduhan tak berdasar datang dari saudara setanah air. "Covid atau dicovidkan". Tiga kata tanpa tanda tanya sebagai statement paling menyakitkan bagi siapapun yang terlibat langsung dengan virus tersebut. Mereka yang tengah berjuang dalam kesesakan hingga yang sudah ditelan kekalahan. Saat ini, kata-kata menyakitkan layaknya "kamu miskin" atau "kamu jelek" telah tergeser posisinya oleh "Konspirasi Covid", "Insentif Rumah Sakit", "Akal-akalan elit global" hingga "Endorsement Covid". Dunia tidak pernah terasa menyenangkan bagi siapa saja setelah pandemi dimulai.

Sejak dahulu kita semua membenci jarak yang memisahkan, hidup dalam keterbatasan, hingga upaya bangkit dari kesulitan. Menyalahkan mereka yang tidak pernah mempercayai Covid, bukanlah pilihan yang tepat. Mereka hadir dari ketidakmampuan menerima keadaan, bahwa dunia telah berubah. Bahwa keadaan tidak pernah lagi sama dan memang begitu terasa berat untuk diterima. Namun, agaknya glorifikasi akan penderitaan juga tidak perlu dilakukan. Memahami mereka yang melemparkan tuduhan 'ini itu' sebagai bentuk denial akan keberadaan pandemi juga tidak dibenarkan. Banyak sedikitnya, hampir seluruh individu di dunia terdampak akan keberadaan Covid. Bukan hanya kalian. Merasa paling dirugikan dan paling menderita hanya akan membuat diri senantiasa merasa dicurangi keadaan. Masih ada tenaga medis dalam sesaknya balutan APD, mereka yang tak mampu bersentuhan hingga saat terakhir perjumpaan, hingga mereka yang masih berjuang dalam perawatan. Kamu tidak se-spesial itu untuk merasa dicurangi oleh dunia.

"Covid tidak berbahaya", yap dengan recovery rate lebih dari 50%, Covid tidak cukup berbahaya bagi kalangan tidak rentan. Namun, bagi penderita berbagai penyakit bawaan (komorbid) dan juga kelompok-kelompok rentan seperti halnya lansia, ibu hamil, hingga anak-anak dan balita, Corona Virus menjadi mimpi buruk.

Kini, membunuh bukan perkara tajam dan tidaknya sebilah pedang atau tepat dan tidaknya peluru mengenai. Namun pemikiran yang abai dan ucapan yang membuat orang lain mempercayai.

Perjuangan melawan pandemi di Indonesia tidak dapat dimulai dari gerakan-gerakan pencegahan penularan seperti halnya mengenakan masker, mencuci tangan hingga menjauhi kerumunan. Melainkan menanamkan mindset bahwa Covid nyata adanya dan siapapun dapat mengalaminya, tanpa terkecuali. Menempati angka kasus harian tertinggi di dunia, seharusnya menjadi evaluasi bagi seluruh pihak baik pemerintah maupun masyarakat bahwa tingkat kedaruratan pandemi bangsa ini bukan main-main.

Kekecewaan kepada pihak-pihak yang semestinya bertanggung jawab tidak membenarkan masifnya tuduhan akan fenomena "dicovidkan". Ini bukan lagi persoalan percaya dan tidak akan konspirasi. Bukan lagi bab "oposisi maupun koalisi" akan kinerja pemerintahan. Infeksi virus tak pernah mengenal afiliasi politik apapun. Dari sekian banyak kisah memilukan akan perjuangan melawan Covid-19, tidak menutup kemungkinan kita atau orang terdekat mengalaminya. Pandemi mengharuskan kita untuk dapat berfikir secara realistis. Memangkas semua pikiran penuh kecurigaan tak berdasar dengan fokus menghadapi wabah seoptimal mungkin.

Meyakini kisah dongeng konspirasi tidak akan pernah menguntungkan bagi keselamatan diri maupun orang-orang terkasih. Berseteru dengan saudara sendiri, melahirkan stigma-stigma tidak bertanggung jawab tidak akan pernah membuatmu menang dalam pertarungan pandemi ini.  Keselamatan kalian berada dalam setiap keputusan yang kalian ambil untuk bertahan dalam wabah berkepanjangan ini. Ketahuilah bahwa di tengah melelahkannya bertahan dalam pandemi, masih ada tenaga medis yang kewalahan melawan risiko pekerjaan, ketersediaan ruang-ruang isolasi yang kian menipis, hingga satu demi satu lahan pemakaman yang kian menyempit.

Menjadi egois saat ini begitu mudah. Dan karena kemudahan itu, nyaris seluruh individu berlomba-lomba dalam keegoisan demi kepentingan diri. Namun di masa ini juga, menjadi pribadi yang meringankan beban sesama jauh lebih mudah. Maskermu melindungi keselamatan orang-orang terkasihmu. Vaksinmu mengurangi 1 dari sekian kemungkinan bagi tenaga medis untuk menanganimu. Berhenti menyudutkan pihak tertentu mengenai keberadaan virus meringankan kinerja mereka yang masih harus tetap bekerja di tengah pandemi. Stay safe and stay sane!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline