Hari ini 17 Agustus 2015, bangsa Indonesia merayakan kemerdekaannya yang ke-70. Di sepanjang jalan protokol, bendera merah putih berkibar diselingi pernak-pernik umbul-umbul warna-warni yang mengesankan keceriaan. Gegap gempita seluruh masyarakat Indonesia dari Merauke hingga ke Sabang menyambut dengan sukacita. Berbagai ekspresi kegembiraan diluapkan dengan caranya masing-masing, dari mulai panggung hiburan rakyat, macam-macam perlombaan, karnaval budaya, sampai pada seremonial sakral upacara pengibaran sang saka merah putih. Tidak lain hal itu dilakukan sebagai upaya perwujudan rasya syukur karena telah 70 tahun bangsa indonesia menikmati kemerdekaan.
Hal serupa tidak ketinggalan juga dilaksanakan di Kabupaten Merauke Papua, yang merupakan kota paling ujung timur Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua Newgini. Sejak sepuluh hari yang lalu, bendera merah putih sudah terpasang di depan rumah warga, baik yang di kota maupun di desa, yang di jalan utama maupun jalan gang-gang sempit di sudut kota Merauke walaupun ada insiden larangan pengibaran sang saka merah putih di Dusun Yakyu Kampung Rawa Biru oleh sekelompok oknum tentara PNG, yang dibenarkan panglima TNI jendral Gatot Nurmantyo (baca beritanya di Kompas.com 15 Agustus 2015).
Berbagai perlombaan pun digelar dan masih terdengar sahut-sahutan sorak-sorai hingga panas matahari menyengat di kepala hingga saat ini setelah pelaksanaan upacara pengibaran merah putih dilaksanakan. Bahkan di tingkatan lingkungan ada beberapa yang melakukan kegiatan perlombaan dan panjat pinang. Bukan hadiah yang memikat hati, tapi partisipasi memeriahkan ulang tahun kemerdekaan terpancar jelas di wajah mereka yang berseri.
Semua tingkat pemerintahan melaksanakan upacara pengibaran bendera sang saka merah putih, dari pusat hingga ke tingkatan daerah. Di Kabupaten Merauke, distrik dan kelurahan serta tingkatan kampung juga melaksanakan upacara pengibaran bendera yang diikuti anak-anak sekolah dan sebagian masyarakat. Ciri khas dentuman senjata atau sirene sebagai tanda detik-detik proklamasi terdengar jelas, dan hentakan kaki laksana serdadu di medan perang pun nampak dari gerakan pasukan Paskibra untuk mengibarkan merah putih ke puncak tiang tertinggi.
Tak jauh dari keramaian ulang tahun kemerdekaan Indonesa yang dilaksanakan di Kota merauke, ada yang tak biasa dari tahun-tahun sebelumnya. Di lingkungan komplek masyarakat Asmat yang terletak di pinggiran kali weda perbatasan Kelurahan Seringgu Jaya dan Kelurahan Samkai distrik Merauke, mereka melaksanakan upacara bendera dengan sangat sederhana yang dimotori oleh beberapa organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) GMKI, HMI, dan PMII serta dibantu rekan-rekan dari Saka Bayangkara sebagai petugas upacara.
Tidak ada tiang bendera yang tampak mewah dan kokoh, hanya 3 buah tongkat pramuka yang disambung menjadi tiang bendera. Tidak ada Paskibra yang jumlahnya hingga tujuh puluhan orang, hanya ada 3 orang anggota Pramuka dari saka Bayangkara yang mengantarkan sang saka merah putih ke puncak tiang tertinggi. Dan sejak pagi pagi hari masyarakat sudah bersiap dengan antusias mengikuti upacara bendera karena letak lapangan hanya di seberang kali weda, baik orang tua maupun anak-anak. Upacara bendera proklamasi kemerdekaan Indonesia yang jauh dari kesan mewah tapi istimewa dan sangat hikmat.
Masyarakat Asmat yang tinggal dan berdomisili di pinggir Kali Weda distrik Merauke berjumlah ratusan jiwa dengan tempat yang sederhana bahkan terkesan tidak seperti bangunan rumah pada umumnya dan belum mampu menghadirkan penerangan lampu listrik untuk mengusir gelapnya malam. Sebagian besar mereka bekerja sebagai buruh lepas yang mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari dari penghasilannya, dan anak-anak mereka hampir tidak ada yang sekolah. Sehari-hari mereka hanya memulung sampah dan barang bekas. Namun, di hari istimewa ini sebagai hari ulang tahun kemerdekaan Indonesia, mereka menyempatkan hadir di lapangan untuk berpartisipasi mengikuti pengibaran sang saka merah putih.
Entah mereka merasa merdeka atau tidak hingga saat ini, terutama merdeka dari kemiskinan, merdeka dari kebodohan, merdeka dari keterbelakangan. Siapa yang tak miris hatinya menyaksikan pemandangan kontras seperti ini, masyarakat menggelar upacara kemerdekaan dengan backgraund pemandangan rumah mereka yang disusun dari kayu bekas yang dikumpulkannya berbulan-bulan. Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H