Lihat ke Halaman Asli

Mulih Mula Mulanira

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mulih Mula Mulanira sebuah perenungan memaknai kembali realitas Mudik Lebaran dan Ritus 'Iedul Fitri.

Ada satu tradisi yang cukup unik dan khas dalam negeri kita ini. Yakni tradisi mudik lebaran dalam merayakan ‘Iedul Fitri. MudikLebaran sudah menjadi satu tradisi. Tradisi mudik Lebaran dalam masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun sangat mengesankan, mencengangkan, sekaligus sangat merepotkan terutama bagi pemerintah dan aparat keamanan. Setiap tahun menjelang Lebaran (Idul Fitri), orang dalam jumlah jutaan manusia seakan ‘digerakkan’ oleh suatu kekuatan luar-biasa dari satu tempat—metropolis—yang dianggap sebagai tempat mancari nafkah ke suatu tempat—kampung halaman lain yang disebut sebagai tempat asal-muasalnya.

Menjelang Lebaran, masyarakat Indonesia bergerak dalam jumlah yang sangat menakjubkan sehingga budayawan terkemuka dari Ngawi, Umar Kayam (1993), pernah mengatakan bahwa mudik Lebaran itu sebagai “menjalani suatu ritus yang tidak jelas apakah itu suatu keajaiban fenomena agama, fenomena sosial, atau fenomena budaya”. Fenomena mudik Lebaran ini nyaris merupakan suatu keajaiban karena agaknya, tidak ada satu ritus lain pun di Indonesia yang dapat menandinginya dalam skala dinamika gerak massa manusia.

'Mudik'dalam Kamus Bahasa Indonesia yang diterbitkan "Citra Umbara" Bandung (1997) diartikan berlayar ke hulu, pulang kampung. Dalam Falsafah Jawa ‘Mudik’ mengingatkan kepada kita bahwa hidup adalah sebuah "perjalanan". Ungkapan yang sangat umum "Sangkan paraning dumadi"—mengingatkan manusia di dunia ini harus memahami dari mana "asal", akan ke mana "tujuan" dan "akhir" perjalanan hidupnya dengan benar—kasampurnaning dumadi (kesempurnaan tujuan hakikat). Inilah makna dari ‘eling purwaning dumadi. Mulih mula mulanira’.

‘Iedul Fitri (Iedul=Kembali);(Fitri dari kata Fitrah=Asal Mula). dengan demikian, Iedul Fitri berarti kembali kepada fitrah atau kembali kepada asal mula diciptakannya manusia.

Kembali kepada fitrah atau kembali kepada asal mula diciptakannya manusia ini, sering kita memaknai kembalinya manusia kepada kondisi suci bak bayi yang baru lahir. dalam hal ini, manusia kembali dalam kondisi suci setelah menjalankan Iedul Fitri. pemaknaan ini berdasarkan pada rancangan awal Tuhan mengenai diri kita (manusia). bahwa kita diciptakan Tuhan dengan rancangan sebagai makhluk suci yang sakral. konsep ini terkait dengan Hanief, yang artinya suatu sifat dalam diri kita yang cenderung memihak kepada kebaikan dan kebenaran.

Dalam konteks saat ini, kembali kepada fitrah asal mula penciptaan manusia dapat dimaknai sebagai seperti apa asal mula manusia diciptakan oleh Tuhan.

1.Manusia ada dengan membawa cikal-bikal pluralitas. kembali kepada fitrah, seharusnya kita mulai sadar kembali bahwa manusia terlahir dengan pluralitas sesuai dengan kekhasan masing-masing.so, menyadari kemudian menerima dengan tulus terhadap warna-warninya kehidupan dan hidup itu sendiri.

Pluralitas adalah realitas. Perbedaan adalah kasunyatan.

Pluralitas adalah real. Ketika kita“emoh”dengan realitas ini, dan kemudian ketika kita mencoba berusaha sekuat tenagauntuk menghilangkan pluralitas dengan mencoba menghomogen-kan. Ya jelas, justru akan memunculkan permasalahan. Melawan realitas hidup berarti melawan hukum alam. Menghindari pluralitas berarti menghindari dan menolak hukum Tuhan itu sendiri. Sementara Allah berfirman (dalam terjemahan bebas) saya “kalaupun Tuhan itu berkehendak akan menghomogenkan umat manusia ini, maka sebenarnya Tuhan itu bisa. Tetapi justru Tuhan berkehendak lain, membiarkan umat manusia ini dalam pluralitas”.

2.Manungsa gone roso. dalam pasemon jawa sering kita dengar "yen dijiwit loro, ojo njiwit". kembali kepada roso sejati akan mengurangi diri yang penuh dengan label dan identitas ini.dalam khasanah psikologi, ketika kita belum mampu kembali kepada roso sejati maka kita masih akan menuankan ego(aku sing isih kebak embel-embel).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline