" Sebuah Kisah dari Sudut Kota"
Sebut saja namanya Lukas, remaja yang baru berumur 13 tahun itu aku lihat pertama kalinya ketika penerimaan santri baru di pesantren ini, ya, sebuah pesantren kecil di belahan selatan Kota Reog kebanggaannku ini.
Muhammad Lukas, begitu nama lengkapnya, datang ke pondok ini bersama pamannya, dengan memakai kemeja pendek kotak-kotak kombinasi warna marun dan hitam, dipadukan dengan celana hitam panjang semata kaki dan sandal jepit yang tampak lusuh. Ia menggendong sebuah ransel berwarna hijau tua yang sarat muatan, mungkin berisi pakaian dan perlengkapan lainnya yang akan ia gunakan selama mondok di sini.
Terik sinar matahari di siang hari seringkali mematahkan semangat siswa-siswi untuk terus belajar. Ketahuilah, siang hari begini kondisi siswa-siswi sudah kehabisan tenaga untuk berfikir lebih kritis lagi akan pelajaran.
Di ruang kelas VII, kelas dimana Lukas belajar setiap harinya, kulihat ia duduk di bangku paling depan. Suatu ketika aku memintanya untuk membaca sebuah materi pelajaran yang ada di bukunya. Aku heran sekali, karena ia hanya terdiam tanpa mengucap satu patah katapun. Aku dekati dia dan kuulangi lagi perintahku.
" Mas Lukas, ayo dibaca bukunya!" kataku.
Setelah sekian lama terdiam, akhirnya ia buka suara.
"Tidak bisa, Bu." katanya dengan wajah tertunduk.
" Kenapa Mas, apa matanya sakit atau kenapa ?" tanyaku penasaran
" Nggak bisa baca, Bu" jawabnya masih dengan wajah tertunduk.