Hari ini, 3 Oktober 2023, merupakan hari pencerahan bagiku. Sudah satu tahun lebih sering ada kejadian berulang dalam perjalananku berangkat-pulang kerja. Setiap hari kerja aku berangkat dan pulang melewati jalur tol (tax on location) Bandara, lebih tepatnya masuk tol Buaran Indah dan keluar tol Kemayoran, begitu sebaliknya. Kali ini dalam perjalanan berangkat kerja, lagi-lagi ada seorang pengemudi yang kesulitan membuka palang otomatis pintu tol. Aku lihat dari jarak beberapa meter, sepertinya sudah ada tiga kartu tol yang ditempel namun palang otomatis tidak kunjung terbuka. Setelah lebih dari 10 menit antrian panjang di pintu tol semakin mengular. Petugas tol yang diharapkan dapat membantu belum juga hadir di pos gardu tol.
Melihat antrian semakin panjang, sempat timbul niat untuk membantu pengemudi tersebut, namun melihat mobilnya yang tergolong mewah, aku mengurungkan niatku. Aku takut membuat tersinggung pengemudinya. Kulihat beberapa mobil sudah beralih ke gardu tol yang lain karena tidak sabar mengantri panjang. Akhirnya, aku memberanikan diri menawarkan bantuan. "Maaf, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. "Apakah saldo e tol Bapak masih cukup"? tanya sang pengemudi. " Masih cukup, Pak", jawabku singkat. Sang pengemudi langsung menyahut, " Saya pinjam katu e toll Bapak ya?" "Boleh, Pak", jawabku sambil menempelkan kartu e tol. Begitu palang otomatis terbuka, mobil mewah itu pun langsung melaju kencang, tanpa mengucapkan terima kasih. Dalam hati aku bergumam, " Sudah dibantu kok tidak terima kasih ya".
Setelah lima mobil di depanku melewati palang gardu tol, giliran mobilku lewat. Kulihat dari layar, saldo e tol ku memang masih cukup untuk perjalanan seminggu. Karena waktu perjalananku terbuang lebih dari 12 menit, aku pun tancap gas dengan mode Sport. Setelah melaju kurang lebih dua kilo meter, tiba-tiba ada yang menghadang mobilku. Sepertinya itu sang pengemudi mobil mewah yang baru saja aku bantu. Benar saja. Ternyata orang itu sang pengemudi mobil mewah. Dia mengetok pintu kaca jendela mobilku. Begitu pintu kaca aku buka, tangannya langsung mengulurkan uang 100 ribu rupiah seraya berkata, "Terima kasih, Pak atas bantuannya. Ini pengganti uang tol Bapak." "Tidak usah diganti Pak. Saya senang bisa membantu Bapak."sahutku pelan. Karena terus memohon untuk menerima uang pemberiannya, aku pun segera mengambil uang kembalian. Namun sayang, sang pengemudi langsung beranjak pergi naik mobil mewahnya dan langsung meluncur ke arah Bandara. Karena matahari pagi sudah semakin meninggi, tidak mungkin aku kejar. Jika aku memaksakan diri, aku pasti terlambat tiba di sekolah.
Pengalaman tersebut memberikan pembelajaran kehidupan yang berharga bagiku. Ketika hati berniat membantu orang lain, jangan melihat status sosialnya. Setiap orang entah kaya atau miskin ketika ada dalam kesulitan dan hatiku terpanggil untuk menolongnya, lakukan saja. Ikuti kata hati. Jika pertolonganku ditolak, tidak masalah. Setidaknya aku sudah menawarkan bantuan. Ketika orang yang aku bantu, tidak berterima kasih, juga tidak masalah karena tidak akan mengurangi nilai kebaikanku. Jika aku membantu orang lain, jangan mengharapkan imbalan termasuk ucapan terima kasih sekalipun. Seperi peribahasa Latin, jangan memberi dengan semangat "do ut des" ("Aku memberi untuk diberi"). Terakhir, ketika aku sudah berbuat baik, aku tidak kehilangan apapun. Apa yang kulepaskan akan kembali kepada diriku (entah kapan). Benar sekali kata-kata bijak, "tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah". Memberi lebih baik daripada menerima. Barangsiapa yang memberi dengan hati tulus akan menerimanya kembali berlipat ganda. Kita tidak mungkin tarik tunai kebaikan apabila kita tidak pernah setor kebaikan pada orang lain (@2023 by Sunar).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H