Sering kita dengar orang bilang, “ganti pejabat ganti kebijakan”. Pertanyaan nakalnya, “yang salah pejabatnya atau kebijakannya?” Wah... sepertinya ini pertanyaan tendensius! Bukan hal itu yang akan saya bicarakan! Faktanya di negara kita “ganti pejabat ganti kebijakan” berlaku hampir di semua bidang kehidupan, tanpa kecuali di dunia pendidikan. Coba tebak apa yang baru di dunia pendidikan tahun ini? Benar sekali! Salah satunya adalah kebijakan penilaian pendidikan di Indonesia untuk jenjang SMP, SMA dan SMK. Tahun pelajaran 2016/2017, peserta didik SMP, SMA, dan SMK harus menempuh Ujian Sekolah (US), Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) dan Ujian Nasional (UN) yang Berbasis Komputer (UNBK) ataupun Berbasis Kertas.
Ujian sebagai sebuah sistem penilaian tentu merupakan hal yang biasa dan sah-sah saja untuk dilakukan di sekolah. Yang tidak atau tepatnya belum biasa, peserta didik harus menempuh ujian tiga jenis berturut-turut: US, USBN dan UN. Artinya beban ujian peserta didik bertambah berat, meskipun untuk UN mata pelajaran yang diujian telah dirampingkan. Singkatnya, di akhir jenjang SMP, SMA, dan SMK, peserta didik dikondisikan “sekolah untuk ujian”. Hal ini membuat saya meragukan kebenaran kata-kata guru saya waktu saya duduk di bangku SD. Ketika itu guru saya selalu menekankan bahwa murid belajar bukan untuk ujian tetapi untuk hidup. Kalau tidak salah, dalam bahasa Latin peribahasanya Non Scholae sed Vitae Discimus. Artinya, kita belajar bukan untuk sekolah (baca: ujian) tetapi untuk hidup.
Sebagai murid yang sekolah di sebuah desa kecil jauh dari sentuhan tangan peradaban zaman, saya pegang teguh kata-kata itu hingga saya menjadi seorang sarjana. Namun kini, seluruh bangunan kebenaran kata-kata bijak itu runtuh berantakan! Betapa tidak! Jika dulu saya di posisi murid, sekarang keadaan berbalik. Saya adalah guru yang sudah mengajar lebih dari satu dasawarsa. Meskipun saya tidak lagi mengajar di kelas seperti kebanyakan guru lain, namun saya bisa merasakan adanya pergeseran arti dan makna dari “belajar untuk hidup” menjadi “belajar untuk ujian”. Sudah lebih dari 3 bulan terakhir, guru-guru di sekolah disibukkan dengan kegiatan “mengajar untuk tes” (teaching to the test) dan murid-murid dilelahkan dengan kegiatan “belajar untuk ujian” melalui metode klasik yang selalu berulang yaitu “drilling system”. Bahkan di banyak sekolah, beberapa murid masih harus mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah atau les privatedengan guru sekolah lain. Tentu saja semua itu akhirnya bermuara pada US, USBN dan UN. Akibatnya terjadi reduksionisme ranah pendidikan. Pendidikan dipersempit hanya pada ranah kognitif dengan dominasi soal pilihan ganda. Meskipun dalam kententuan USBN ada soal uraian tetapi di lapangan jadi berbeda. Di sekolah-sekolah yang pelaksanaan ujian sekolah menggunakan komputer, soal uraian tinggal kenangan. Idealisme pendidikan manusia seutuhnya melalui pembelajaran ranah afektif, kognitif dan psikomotorik membeku di atas kertas. Ambil contoh, mata pelajaran Pendidikan Agama dan Budi Pekerti, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan mata pelajaran Sejarah yang menurut karakteristiknya sarat dengan muatan nilai-nilai spiritual dan nilai sosial pada akhirnya diujikan dalam bentuk pilihan ganda. Lebih miris lagi, dalam realitas murid-murid dikondisikan untuk menjadi “hamba ujian” dan “penyembah pilihan ganda”.
Regulasi pendidikan mengamanatkan adanya tiga macam penilaian pendidikan, yaitu penilaian pendidikan oleh pendidik, penilaian pendidikan oleh satuan pendidikan dan penilaian pendidikan oleh pemerintah. Penilaian oleh pendidik dilakukan melalui penilaian harian, penilaian tengah semester dan penilaian akhir semester. Penilaian oleh satuan pendidikan dilaksanakan melalui ujian sekolah (US) dan penilaian oleh pemerintah diwujudkan melalui ujian nasional (UN). Lantas, dimanakah posisi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)? Agak sulit untuk menjawab pertanyaan ini. Bila USBN diposisikan sebagai penilaian oleh satuan pendidikan, nyatanya ada beberapa mata pelajaran yang soalnya disusun oleh pusat (baca: pemerintah) meskipun persentasenya maksimal hanya 25% dari jumlah soal pilihan ganda. Sebaliknya bila USBN ditempatkan sebagai penilaian oleh pemerintah, faktanya 75% dari soal pilihan ganda dibuat oleh daerah (baca: sekolah). Terlepas dari persoalan posisi USBN, yang jelas hadirnya USBN semakin mengukuhkan kenyataan bahwa peserta didik belajar untuk ujian.
Akhirnya, sebagai sebuah kebijakan baru, USBN untuk jenjang SMP, SMA dan SMK tentu saja memiliki tujuan positif sebagai salah satu instrumen pemetaan mutu pendidikan. Bila dilakukan dengan integritas tinggi, USBN dapat menjadi instrumen evaluatif terhadap kualitas input, proses dan outputpembelajaran di sekolah. Sekolah adalah komunitas dimana individu-individu belajar dan terus belajar untuk hidup yang lebih baik. Sebagai guru/pendidik tentunya kita memiliki tugas mulia untuk tetap menjadikan peserta didik sebagai manusia pembelajar sepanjang hayat yang belajar bukan untuk ujian tetapi belajar untuk hidup. Semoga! (Sunar, praktisi pendidikan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H