Lihat ke Halaman Asli

Kampanye Hitam antara David dan Goliath

Diperbarui: 18 Juni 2015   07:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Syahdan menurut sahibul ngibul-anak-betawi, Goliath tidak pernah jadi Danjen Kopassus, juga tak pernah jadi mantu penguasa otoriter. Goliath adalah raksasa besar bangsa Filistin dengan tinggi sekitar 205 cm. Siapa di antara prajurit Israel berani melawannya? Apalagi dengan bersekutunya hampir semua kekuatan bangsa dan Negara. Dari partai yang sedang berkuasa, dari ormas yang semula berseteru tapi lalu bisa bersekutu karena doku. Emangnya di jaman Goliath sudah ada parpol dan ormas? Belum sih, ngarang aja, namanya juga kampanye item.
Namun, di mana kekuatan Goliath disitulah kelemahannya berasal. Badannya yang besar membuatnya terlalu lamban. Apalagi ditambah perisai dan baju besinya yang berat. Belum lagi nafsu berkuasa dan memenangkan pertandingan, jauh lebih besar dari besar badannya. Nafsu amarahnya jauh lebih gede dari pipinya yang tembem. Untung Goliath tak punya handphone. Bakal kasihan bingits handphonenya, jadi korban pelampiasan.
Disinyalir, Goliath bukanlah manusia normal. Ia sepertinya mengalami sindrom semacam gigantisme, yang membuat matanya sulit melihat. Makanya Goliath kadang pakai kacamata, kalau pas baca. Maklum faktor 'u'.
Dalam dongeng klasik itu, diceritakan Goliath harus dipandu seorang mantan menko, eh, pembawa perisai ding. Itu karena kesusahannya melihat, dan juga sulit bergerak lincah akibat terlampau gemuk koalisi, penuh lemak dengan kolesterol tinggi. Awas asam aurat, Pak Tua!
Selama ini, kita terbiasa berpikir bahwa seharusnyalah Goliath yang menang, bukan David. Karena segalanya ada pada Goliath. Ia kaya, dari keluarga terhormat, relasinya banyak dan luas, ia pandai, dan suaranya menggelegar seperti Bung Karno. Ah, ah, ah, ternyata Goliath fans fanatik Sukarno juga. Padahal Goliath punya bapak ideologis sendiri.
Tapi menurut Malcolm Gladwell, penulis buku “David and Goliath: Underdogs, Misfits, and the Art of Battling Giants”, bisa jadi kita selama ini keliru, karena terlalu mempersepsikan tubuh kecil David sebagai sebuah kelemahan, sedangkan tubuh raksasa Goliath sebagai keperkasaan.
Dalam buku tersebut diungkapkan sebuah ketakjuban akan cerita heroik mengenai David (atau Daud) saat duel dengan Goliath. Semua bermula dari over-ekspektasi atau over-pede bangsa Filistin saat mengetahui David yang berbadan kecil. Tak sebanding dengan jagoan bangsa mereka, Goliath. Meski akhir cerita kita tahu, David keluar sebagai pemenang. Bagi sebagian orang itu mukzizat. Menurut Malcolm, kemenangan David bukanlah sekedar mukzizat. Itu adalah hasil logis atas strategi dan perhitungan matang.
Pertarungan David dan Goliath ini, ibarat pertarungan dua kubu yang tiada henti di tengah masyarakat feodal nun jauh di sana, di negeri yang kelak dinamakan Indonesia. Priayi melawan wong cilik. Kaum priayi terganggu status quo-nya melihat orang yang bukan siapa-siapa amat popular. Menjadi pemimpin tak bisa hanya andalkan popularitas, kata mereka. Ah, itu ‘kan omongan otak kiri karena kalah popular. Otak kanan mah, kalian tak pernah gunakan.
Memang kalangan priayi dapat melakukan apa saja, demi mencegah wong cilik berkuasa. David bisa dihajar dari kanan dan kiri, tidak selalu oleh Goliath, tapi mereka yang bergelantungan di tubuh Goliath, yang secara tak langsung justeru meribeti kelugasannya. Coba saja kalau Goliath berani menjadi seorang ultranasionalis sejati, bisa jadi lebih memunculkan fanatisme tanpa kompromi.
Dan kita akan sampai pada perdebatan yang lebih substansial, daripada hanya sekedar mendiskusikan kelompok salah paham dan numpang hidup.
Lihat senjata kuno kaum feodal, khas pemikirannya karena ketakutan atas comfortable zone yang bakal hilang. Mereka bukan hanya comformis, melainkan juga oportunis. Maka segala kecacatan diri David pun diungkit-ungkit, termasuk perlu merusaknya habis-habisan, sebagaimana darahnya pun halal.
Perspektif feodalisme, masih tumbuh subur di Indonesia, eh, di Filistin saat itu ding (kok klera-kleru, sih). Tak ada kompetisi fair. Feodalisme telah berurat-akar sampai sanubari.
David memang berbadan kecil, cungkring. Namun meminjam promo Ibu Mega, biar kerempeng tapi banteng. Ia memiliki keunggulan dalam soal kecepatan dan kelincahan. Latar belakangnya sebagai tukang meubel, eh, sebagai seorang penggembala, merupakan latihan tersendiri. Sebagai anak alam, David ahli menggunakan ketapel. Itulah keunggulan mutlak. Ada dua kata kunci, Goliath menjadi lamban, tidak leluasa bergerak, dan dengan gigantismenya menjadi rabun; sedangkan David bersenjatakan ketapel. Kita tahu bagaimana sistem kerja ketapel. Ditarik ke belakang untuk mendapatkan daya dorong. Dan untuk tepat sasaran, butuh keahlian membidik. Itu sebabnya, David seolah Pangeran Diponegoro dalam sajak Chairil Anwar; Di depan sekali tuan menanti. Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali. Pedang di kanan, keris di kiri. Berselempang semangat yang tak bisa mati. MAJU. Ini barisan tak bergenderang-berpalu. Kepercayaan tanda menyerbu.
Menyerbu ke TPS, gunakan hak pilihmu!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline