Lihat ke Halaman Asli

Memilih Partai Oposisi

Diperbarui: 24 Juni 2015   05:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hal yang pasti menjadi dasar pemikiran tiap Parpol adalah menjadi partai penguasa dan pemenang pemilu. Lihat saja semua jargon, program dan visi partai peserta pemilu 2014 menyiapkan diri menjadi penguasa baru. Program kerja yang meliputi semua aspek hanya mungkin bisa dicapai oleh pemenang yang mendominasi parlemen.

Yang patut disesalkan adalah tidak adanya partai politik yang menyiapkan diri menjadi oposisi penguasa baru. Merumuskan program yang biasanya terabaikan oleh penguasa. Pola fikir oposisional akan menguntungkan karena cenderung kritis dan mampu melihat peluang. karena jelas tidak akan ada yang menjadi pemenang dominan maka akan lahir dua kemungkinan. pertama, akan terjadi aliasi parlemen berdasarkan kepentingan pragmatis, jatah kekuasaan. kedua, hasil-hasil yang ditelorkan oleh pemerintah dan parlemen merujuk pada rumus "kompromi bermasalah". kedua hal tersebut jelas mengganggu akal sehat bangsa.

Dilihat dari sudut pandang rakyat, sikap oposisional biasanya cenderung dibenarkan. Hal tersebut karena sering kali penguasa mengabaikan banyak aspek dalam penerapan program. Pembenaran dan kebutuhan terhadap parpol oposisi dalam parlemen dan pemerintahan menjadi kebutuhan pokok rakyat. Dari aspek tersebut, malah makin mendekatkan diri dengan konstiuen.

Partai oposisi akan selalu menjadi tempat keluh kesah rakyat. Tempat mengadu dan menaruh harapan atas perjuangan rakyat yang sering kali terabaikan. Kita bisa melihat, karena kekaburan partai oposisi dalam parlemen, menyebabkan banyak sekali aspirasi rakyat yang terbengkelai. Aspirasi minoritas ini jadi dikelola bisa menjadi kekuatan demokrasi penyeimbang pemerintah. Gagasan oposisional jika menjadi platform partai akan mendorong penyerapan aspirasi lebih efektif.

Penegasan diri sejak awal menjadi partai oposisi saya kira juga menjawab keluhan mandeknya pilar demokrasi lain yang selama ini menjadi penyeimbang penguasa. Banyaknya kalangan akademisi, pers, mahasiswa dan organisasi yang dikooptasi pemerintah memandulkan sikap kritis terhadap hasil dan program. Sikap kritis akademisi yang muncul biasanya hanya berkaitan tidak kebagian jatah kue. Demo-demo mahasiswa menyuarakan pragmatisme kelompok. Sedangkan pemberitaan media, sering kali tidak berimbang karena dikuasai partai penguasa. Banyak gerakan, organisasi selain menjadi underbow partai juga sudah diinfus dana yang menjadi pilar utama roda organisasi.

Praktis elemen penyeimbang penguasa mandek. Yang mungkin dan patut digagas adalah mendirikan partai oposisi. Mendeklarasikan dan mendermakan partai yang akan menjadi penyeimbang pemerintah. Menjadi partai oposisi adalah mempertahankan akal sehat dari konservatisme pemerintah yang cenderung hanya mementingkan kebutuhan kelompok.

Oposisi akan menjadi lawan bertanding yang menyuguhkan pesta demokrasi lebih aspirasional. Mekanisme parpol akan lebih terbuka dan cepat menyerap aspirasi. Dan lebih dari sikap atraktif partai, oposisi adalah menjaring pemilih yang bisa mencapai angka 40%. Rasionalisasinya bahwa kelompok minoritas, kepentingan rakyat banyak terabaikan oleh penguasa. Dan hal itu akan selalu membutuhkan saluran aspirasi, hanya mungkin lewat partai oposisi.

Nah, Apakah ada parpol yang berani? Mari kita tunggu pada pemilu 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline