Lihat ke Halaman Asli

Kesadaran Ideologi di Indonesia, 108 Tahun Sarekat Dagang Islam

Diperbarui: 24 Juni 2015   06:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bandul perubahan, mungkin sejak manusia ada di bumi ini, ditentukan oleh dua faktor utama: oleh politik atau ekonomi. Perebutan kekuasaan dan penguasaan modal menjadi domain utama sifat manusia. Setelah sampai pada puncak kebrutalan akibat ulah manusia, baru agama turun untuk meletakkan dasar akhlak. Konsepsi tersebut bukan maksud mensubordinasikan agama, melainkan bahwa tugas manusia di tempatkan di bumi memang sebagai khalifah, wakil Tuhan. Artinya ini ranah kekuasaan atau politik. Dan memanfaatkan potensi yang ada di bumi untuk kemakmuran umat manusia ini ranah ekonomi. Ketika ketimpangan kekuasaan dan kepemilikan modal semakin tinggi, kelas borjuis dan buruh makin timpang, maka tuntutan relevansi agama semakin menguat.

Kepentingan kelas ini kemudian menjadi akar ideologi. Dua idelogi besar dunia, kapitalisme dan sosialisme digerakkan oleh kekuasaan (politik) dan modal (ekonomi). Pergerakan kekuasaan dan modal difungsikan untuk mempertegas identitas. Identitas diukur dari ranah politik dan ekonomi. Konsepsi inilah yang menghancurkan peradaban dunia sekarang. Masing-masing berlomba menumpuk modal dan mengejar kekuasaan. Point yang perlu diingat bahwa pengelompokkan kelas dalam Islam berbeda. Kuntowijoyo menjelaskan pengelompokkan kelas dalam Islam yaitu kelas dzalim (penindas) dan kelas mustadh’afin (tertindas). Dengan begitu, konsep kelas dalam Islam berbeda dengan konsep kelas dalam Marxisme.

Ukuran kelas dalam Islam bukan berdasarkan faktor alat produksi, modal dan kekuasaan, melainkan faktor keadilan. Hubungan ketidakadilan, penindasan, dan kedzaliman inilah yang mau dilawan oleh Islam. Baik karena faktor ekonomi maupun politik, kedzaliman adalah musuh bersama. Dzalim dalam konteks politik adalah pemimpin yang otoritarian, korup, anti kritik, politik dinasti, memonopoli modal dan tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat kecil, buruh, petani gurem dan nelayan (mustadh’afin). Pilihan umat Islam dengan mengajak kelas proletar bukan untuk menghancurkan dan menyamaratakan, tetapi untuk mensejahterakan.

Maka konsep ideologi kelas dalam Islam punya paradigma sendiri. Pemihakan kelas dalam Islam untuk mewujudkan keadilan. Baik dalam sektor ekonomi, politik, hukum, sosal dan budaya. Keberpihakan kepada keadilan akan selalu relevan sepanjang zaman. Mustadh’afin sebagai produk ketidakadilan akan selalu muncul dalam sistem masyarakat apapun, baik kapitalis maupun sosialis.

Sejak Daniel Bell menulis tesis the end of ideology yang mengingatkan kepada kita tentang homogenisasi ideologi dunia, sebenarnya belum berakhir. Begitu pula hipotesa Francis Fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal sebagai akhir pertarungan ideologi menjadi usang, ketika Amerika malah ambruk oleh konsep kapitalisme yang sendiri. Homogenisasi Ideologi adalah bentuk ketidakadilan dan penindasan, dan tentu akan menemui titik kemunduran.

Kristalisasi Ideologi

Perlawanan ketidakadilan di Indonesia pertama kali muncul ketika sekelompok kecil pedagang batik Solo menentang monopoli bahan baku batik oleh orang Cina. Inilah babak baru perlawanan umat Islam dengan membentuk perkumpulan melawan ketidakadilan monopoli Cina dan penindasan Belanda. pada tanggal 16 Oktober 1905, berdirilah Sarekat Dagang Islam oleh KH. Samanhoeddhi. Gerakan perlawanan SDI ini kemudian berkembang dan melahirkan Sareka Islam (SI) HOS. Cokroaminoto. Konon lewat SI lah, tokoh-tokoh pergerakan tiga ideologi di didik dan dibesarkan, Islamisme Kartosuwiryo, Marhaenisme Soekarno, dan Komunisme Semaun.

Islam mencapai bentuknya sebagai ideologi perlawanan baru. Hal tersebut juga menandai masuknya zaman ideologi, menurut perspektif Comte. Model perlawanan yang berbeda sesudah zaman mistis yang kental dengan cita-cita Ratu Adil. Gerakan perlawanan SI kemudian secara cerdas direkam oleh Takashi Shiraishi dengan judul sangat provokatif, Zaman Bergerak, Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Lewat SI, kesadaran kelas dan keberpihakan dengan mustadh’afin pertama kali dikenalkan kesegala lapisan masyarakat Indonesia.

Semangat perlawanan Islam ini kemudian menemukan wujudnya dalam bentuk yang khas ke-Indonesia-an dalam Pancasila. Konsep Pancasila, secara tegas merangkum bentuk perjuangan ideologi bangsa Indonesia. Dasar keyakinan (Ketuhanan Yang Maha Esa), nilai-nilai universal (kemanusiaan dan keadilan sosial), prinsip politik (persatuan Indonesia dan kedaulatan rakyat). Founding father kita yang mayoritas umat Islam memahami bahwa Pancasila adalah model Islam-nya Indonesia. Dan Pancasila merupakan suatu keyakinan ideologis yang terbuka dan bukan merupakan akhir ideologi. Seperti pendapat Natsir bahwa putra-putri Indonesia harus diberi hak memberi isi pada Pancasila. Ketika Pancasila dimonopoli penafsirannya sebagai alat kekuasaan untuk membungkam putra-putri sendiri itulah bentuk kedzaliman (ketidakadilan, penindasan) yang nyata.

Tradisi Keilmuan Kita

Reformasi, selain mengakhiri monopoli tafsir Ideologi Indonesia, juga menghancurkan pondasi dasar keyakinan. Ketika Dr Pramono Anung menyusun disertasi, menemukan fakta bahwa landasan politik Indonesia tidak lagi dibangun berdasarkan idealitas dan cita-cita founding father bangsa. Landasan politik kita sekarang dibangun berdasarkan kombinasi uang dan kekuasaan. Mayoritas rakyat kemudian meneriakkan kembali kepada Pancasila, seperi mencita-citakan Ratu Adil. Sementara umat Islam mengalami kebekuan ide, sehingga semangat perlawanan pada bentuk ketidakadilan penguasa yang korup menjadi utopis. Sekencang apapun tokoh Islam berteriak, penguasa korup tetap berlalu.

Akan terlalu lama ketika kita kembali meniti kembali rumusan ide menjadi konsep ilmu yang menginspirasi perlawanan. Melihat potensi kelas menengah Indonesia yang terus meningkat. Kebanyakan mereka adalah kelompok terdidik, independen, berada diluar birokrasi dan memiliki semangat kemerdekaan kelas yang besar. Maka, yang perlu diupayakan adalah menggenjot keberpihakan kepada mustadh’afin secara struktural.

Dengan melihat perjuangan masa lalu, kita bisa belajar banyak. Kita sudah melihat sendiri pada setiap tahapan sejarah Indonesia, peran umat mempunyai cerita positif sendiri. Kita bisa bangga ketika melihat bagaimana posisi umat pada setiap periode sejarah, bagaimana bentuk kesadarannya, bagaimana permasalahan-permasalahannya, bagaimana cara umat Islam mengorganisir diri, bagaimana mereka melakukan aksi, dan bagaimana umat Islam memecahkan dilema dan problem kedzoliman yang dihadapi

Umat Islam sudah melewati usia lebih dari 1400 tahun. Umat Islam sudah sangat tua, tapi masih selalu muda dan penuh energi. Begitu harapan Kuntowijoyo.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline