Lihat ke Halaman Asli

Naifisme Islam

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12952231071152370926

[caption id="attachment_85052" align="alignleft" width="170" caption=""][/caption]Sunan Gunung Djati-Selain faham modernisme Islam, tradisionalisme Islam, liberalisme Islam, inklusifisme Islam dan seterusnya, umat Islam juga diam-diam banyak menganut faham naifisme Islam. Naifisme Islam adalah perilaku naif atau sikap ironis yang dianut tanpa sadar oleh umat Islam, dari kalangan masyarakat awam hingga para profesor di perguruan tinggi. Perilaku naif ini banyak sekali wujud dan bentuknya dalam kehidupan. Disini saya hanya mengambil contoh-contoh naifisme dalam penulisan nama diri: Pertama, kebiasaan mencantumkan atau menuliskan oleh diri sendiri, gelar haji sebelum nama diri: H. Ahmad, H. Abdul, Dr. H. Sabrang Lor, Prof. Dr. H. Mas Adolf Hitler dan seterusnya. Ini naif karena gelar hajinya saja yang dicantumkan, sementara shalat, zakat dan puasanya tidak, padahal semuanya rukun Islam. Mengapa harus hajinya saja? Berbagai apologi bisa dikemukakan. Tapi, tetap saja itu sikap naif. Bila gelar hajinya itu tidak dicantumkan merasa tidak lengkap, tidak dihargai, bahkan ada yang tersinggung dan marah. Kedua, mengakui, membenarkan dan menuliskan sebutan ulama, kiayi dan ustadz oleh diri sendiri. Seharusnya, semua itu sebutan orang lain pada kita, bukan pengakuan diri sendiri. Malu. Misalnya, menuliskan sendiri kata “KH.,” “Ustadz,” di depan nama diri karena merasa ahli agama atau tukang ceramah. Gelar-gelar itu sebutan dan pengakuan masyarakat bukan sebutan atau pengakuan diri. Kalau oleh orang lain tak apa, tapi oleh diri sendiri adalah naif. Ketiga, kebiasaan memanggil jabatan seseorang: Pak Presiden, Pak Menteri, Pak Gubernur, Pak Bupati, Pak Camat, Pak Rektor, Pak Dekan dan seterusnya. Padahal, itu semua bukan nama, tapi jabatan yang bisa berubah-rubah. Nama itu identitas diri yang diberikan sejak lahir. Yang benar, kalau mau menyebut “Pak,” namanya yang disebut bukan jabatannya: Pak Ahmad, Pak Agus, Pak Abdul, Pak Asep, Pak Broto dan seterunsya. Jadi, dalam rapat tidak ada ungkapan: “Pak Menteri selamat datang!” Atau, “Pak Rektor yang kami hormati.” Atau, “Pak Dekan silahkan duduk.” Yang kita persilahkan itu orang bukan jabatan. Masak jabatan bisa bergerak dan berjalan? Yang bener aja! Keempat, sebutan istri dan anak sebelum jabatan-jabatan seseorang: Istri presiden, anak menteri, istri gubernur, anak bupati, anak jenderal, istri rektor, anak direktur dan seterusnya. Padahal kita tahu, jabatan itu tidak punya istri atau anak. Yang punya anak adalah Pak Ahmadnya, Pak Abdulnya, Pak Asepnya, Pak Sostronya. Kebiasaan salah ini dipelihara oleh semua unsur masyarakat. Parahnya, “anak” atau “istri” pejabat itu sering memiliki fasilitas-fasilitas dan privilese yang dimiliki bapaknya atau suaminya sebagai pejabat seperti penggunaan fasilitas dinas, prestise dan penghormatan yang tidak ada hubungannya dengan istri dan anaknya. Istri pejabat atau anak pejabat dihormati berlebih karena jabatan bapaknya. Itu jelas salah satu bentuk penyelewengan. Kelima, kebiasaan mencantumkan gelar-gelar akademis atau gelar dinas bukan pada tempatnya. Misalnya dalam surat undangan pengajian, rapat RW atau undangan pernikahan: Mengundang atau Turut Mengundang: Drs. Osama bin Laden, Dr. Kandungan, Dr. H. Orang Purba, Prof. Dr. Simanungkalit, Prof. Dr. H. Budi Arja’un, dan seterusnya. Gelar-gelar akademis atau dinas itu seharusnya hanya untuk di kantor atau di kampus saja yang ada kaitan fungsional dengan pekerjaan atau profesi, di masyarakat tidak ada urusannya. Apa urusannya Drs. dalam rapat siskamling RW? Apa hubungannya Dr. dengan pos ronda? Apa kaitannya Prof. dengan pernikahan? Dalam siskamling yang penting itu mau begadang menjaga keamanan bukan doktorandus, dalam pernikahan yang penting itu ijab kabul, penghulu dan saksi bukan profesor doktor. Salah kaprah dan kerancuan ini akan hilang hanya satu hal: self-awaraness (kesadaran diri) dan rasa malu. Sadar diri dan rasa malu adalah ciri kematangan seseorang. Kematangan adalah ciri kedewasaan seseorang. Wallahu ‘alam!! [Moeflich Hasbullah]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline