Lihat ke Halaman Asli

Pamplet Cinta dari WS Rendera

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sunan Gunung Djati-Menginjak pertengahan bulan Agustus kita selalu teringat dengan hari bersejarah kemerdekaan Indonesia, tetapi dari sudut paling sunyi terdengar jerit histeris setelah jasad “si burung merak” dimakamkan  7 agustus 2009, Dalam usia yang menginjak 74. Rendra ia tak pernah pergi(kompas), meski sepi menjadi kaca. Suatu malam aku dilautan Sepi menjadi kaca Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit Aku ingin kamu,tetapi kamu tidak ada. Sepi menjadi kaca Penggalan sajak WS Rendra berjudul pamplet cinta, yang ditulis tahun 1978, tadi seolah mengingatkan kita tentang rindu yang begitu dalam pada sosok Rendra. seperti bait sajaknya ‘aku ingin kamu, tapi kamu tidak ada’. Tak ada lagi suara yang lantang setelah burung merak pun terbang. Si burung merak sebutan penyair yang memiliki nama lengkap Wahyu Sulaiman Rendra ini, memang sosok seorang yang fantastis selalu lantang menyuarakan kritik sosial. selain penyair, dramawan, budayawan sekaligus negarawan yang mampu memberikan nilai yang signifikan terhadap setiap karyanya, baik syairnya maupun setiap pementasan teater atau pun orasi kebubudayaan nya yang sangat mengugah. Ketika penghargaan Wertheim Encourage Award sepuluh tahun lalu di Amsterdam Belanda. Rendra yang menerima penghargaan tersebut di sambut gegap gempita saat malam bertema “puisi di bawah represi” itu, mengingatkan kita dengan kegiatan kebudayaan dari serangkaian perjuangan kemerdekaan, demokrasi dan hak-hak azasi manusia pada masa orde baru. Sudah tentu  dalam hal perjuangan penyair besar Indonesia WS Rendra  Di fase kekerasan Orba selama lebih dari tiga dasa warsa itu. bahkan seorang Rendra juga tak luput dari segala tingkah ulah arogansi penguasa yang biadab. Rendra bahkan pernah masuk penjara (Mei 1978 - Oktober 1979), selain berulang kali mesti berurusan dengan penguasa hanya lantaran hasil karya puisi dan pembacaannya. Yang paling menghebohkan adalah yang berkenaan dengan dua sajaknya yang masing-masing berjudul “Demi Orang-Orang Rangkasbitung” dan “Doa Seorang Pemuda Rangkasbitung di Rotterdam”. Kedua sajak itu dilarang pembacaannya di Taman Ismail Marzuki 8-9 Nopember 1990. Mengapa penguasa sedemikian ketakutan bahkan hanya terhadap puisi? Sekalipun yang diutarakan kreasi seni itu hanyalah berupa pertanyaan? “Pertanyaan yang wajar-wajar saja,”  ucap Rendra saat menjelaskan pada majalah “Pelita”. Setelah itu Rendra memaparkan tentang demokrasi sebagai rakyat, dan sejarah akan mencetak orang yang ‘multatuli’ ketika semua tidak boleh berekspresi dan dia tegaskan dalam bait sajaknya ‘apa yang bisa dilakukan penyair? bila setiap kata telah dilawan oleh kekuasaan.’ Seperti puisi nya, perjuangan Rendra pun tak lekang oleh ruang dan waktu. Laki-laki yang namanya tertulis dengan tinta emas dalam sejarah teater dan kesusastraan Indonesia modern(baca:kompas). Meskipun Rendra telah meninggal tetapi karya-karya nya yang sangat monumental membuat dia seakan tak pernah pergi. Dengan proses panjang Rendra telah melalui perjuangan yang sangat alot sekali. Perjuangan yang harus menentang arus kekuasaan, penentangan terhadap gaya puisi Chairil dan jiwa sang pembaharu ada di dalam diri sang maestro Rendra. Gaya puisi Rendra selalu bertema sederhana, diksi yang padat, dan sebenarnya kalau kita analisis lebih dalam sebenarnya sangat bertuju kepada kritik sosial. Pamplet cinta bagi Rendra adalah sebuah pengharapan, seperti dalam lirik ‘harapan adalah ketika aku membelai rambut mu/harapan adalah ketika aku masih menulis sajak/harapan adalah aku akan melakukan sesuatu’. Harapan yang di isyaratkan terhadap seorang wanita berimaji dengan terus menulis sajak dan tentu saja dia akan melalukan sesuatu dengan “perjuangan”. Lalu dia menggambarkan kondisi rakyat Indonesia dalam sajak yang berjudul sebatang lisong, ‘menghisap sebatang lisong/ melihat indonesia raya/ mendengar sejuta 130 juta rakyat/ dan dilangit/ dua tiga cukong mengangkang/ berak di atas kepala mereka.’ Sepenggal bait yang menggambarkan keadaan rakyat pada zaman Rendra, namun sajak itu masih terkenang sampai sekarang sebab keadaan yang tak jauh beda dengan realitas masyarakat sekarang. Seperti bulan Agustus saat sang ‘burung merak’ telah meninggal, tetapi di bulan ini terkantup hari kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 agustus. Dengan pamplet cinta dari Rendra semoga pesan dari puisi dan harapan Rendra mampu terefleksikan saat mengenang kepergiannya, saat perayaan hari kemerdekaan mampu menjadi moment yang membuat masyarakat indonesia merdeka sepenuhnya. Meskipun Rendra, yang sebagai penyair rela mengorbankan banyak hal—termasuk apa yang terbaik dari dirinya—harus dikorbankan berkali-kali.Sebab itu, ketika kini Rendra h anya diingat sebagai suara kritik dan kearifan sosial yang menggugah, tetapi kita harus mengenangnya lebih dari sekadar itu. [PUNGKIT WIJAYA]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline