Lihat ke Halaman Asli

Syahrazad, Pemberdayaan ataukah Pemperdayaan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ibuku tidak pernah membuat makar dan tipu daya, akan tetapi ia selalu menghadapi berbagai persoalan dengan berani dan melawannya dengan logika yang jelas, tanpa menggunakan makar dan tipu daya. (Nawal el-Saadawi)

Pernahkan anda mendengar dongeng 1001 malam? Tentu kisah ini cukup akrab dengan kita. Aladdin, Sinbad, Ali Baba, Abu Nawas dan banyak cerita yang lain merupakan bagian kisah yang menghiasi dongeng ini. Kisah ini tak hanya milik orang Arab atau Persia tapi sudah menjadi milik dunia. Filem dengan berbagai versi sudah dibuat berdasarkan cerita yang ada. Alkisah seorang Syahrazad lah yang telah menceritakan kisah ini untuk menghindari hukuman pancung suaminya raja Syahrazar. Raja ini memiliki kebiasaan membunuh istrinya karena kecewa telah dihianati oleh istri pertamanya. Untuk menghindari hukuman pancung, maka Syahrazad setiap malam, selama 1001 malam selalu bercerita dengan ahir cerita menggantung agar Syahrazar penasaran dan tetap membiarkannya hidup. Peran Syahrazad ini membuat saya terpukau. Betapa cerdasnya sosok perempuan ini, yang seolah tidak pernah kehabisan ide untuk membuat kisah yang menarik dan berkesan.

Sosok perempuan seperti Syahrazad sempat menjadi profile perempuan ideal di mata saya, dan tetap seperti itu sampai di ahir 2007. Setelah membaca kumpulan esai-esai Nawal el-Saadawi dalam buku “Pergolakan Pemikiran dan Politik Perempuan”, ada sebuah esai menarik tentang Syahrazad yang membuat saya kembali memikirkan profile ideal ini. Benarkah peran perempuan ideal seperti apa yang telah dilakukan Syahrazad? Seiring dengan pengalaman hidup sebagai seorang perempuan, ternyata kritik yang diungkapkan Nawal dalam esai ini memang banyak benarnya. Bagaimana kritik Nawal terhadap model pemberdayaan yang telah dilakukan oleh Syahrazad? Lalu bagaimana pula bila model ini dipakai dalam pemberdayaan perempuan masa kini?

Kritik Nawal terhadap Syahrazad diawali dengan ketidaksukaanya dengan segala macam tipu daya untuk tujuan apapun. Apalagi kalau tipu daya itu berlangsung dalam rentang waktu yang panjang sampai 1001 malam. Syahrazad tidak berhasil mengubah kekuasaan mutlak yang dimiliki suaminya dalam Negara dan keluarga. Alih-alih mencari tahu latar belakang kenapa suaminya sewenang-wenang menggunakan kekuasaan mutlaknya untuk membunuh siapa saja dan apa saja yang dia kehendaki, Syahrazad malah mendongengkan cerita-cerita yang menghibur. Berhasilkah ia menyembuhkan penyakit kezaliman suaminya dengan cara tersebut?

Menurut Nawal, Syahrazad tidak berhasil. Syahrazad hanya menghentikan sikap suaminya yang membunuh anak-anak perempuan yang tidak berdosa. Akan tetapi tidak bisa menghentikan kekuasaan yang mutlak itu. Syahrazar bagaikan seorang majikan yang tidak dapat ditentang dan dihukum. Syahrazad juga masih menjadi tawanannya. Ia bagaikan dayang-dayang yang hanya bertugas sebagai penghibur. Menceritakan dongeng-dongeng kepada suaminya layaknya seorang anak kecil hingga ia tertidur. Syahrazar merupakan lelaki pesakitan gila yang kekuasaanya mutlak yang manja seperti anak kecil. Istrinya tidak dapat menyembuhkan penyakitnya, bahkan hanya menambah kemanjaan bagi dirinya.

Keistimewaan diri Syahrazad menurut Nawal hanyalah kekuatan daya tarik seksual yang membuatnya dapat membuat makar dan tipu daya untuk menguasai laki-laki. Di sini timbul anggapan keliru bahwa modal utama perempuan untuk menguasai lelaki hanyalah tubuh dan kemampuan berbicara. Tipu daya dan makar menjadi model pemberdayaan yang dilakukan, bukan keberanian dan kekuatan logika yang dimiliki perempuan. Sehingga nilai-nilai patriarki yang membentuk relasi antara suami dan istri tetap dalam hubungan seperti majikan yang memiliki kekuasaan mutlak dan hamba sahaya yang harus pasrah. Relasi seperti inilah yang menjadi ruh dalam semua cerita yang ada dalam dongeng 1001 malam.

Syahrazad dalam kisah 1001 malam tidak memiliki peran apapun selain peran domestiknya. Peran perempuan hanya sebatas di dalam rumah dan keluarga yang dikendalikan suami. Apakah sebatas itu peran seorang perempuan muslim? Kalau hanya sebatas itu tentu tidak akan ada cerita pada saat Nabi masih hidup, kaum perempuan juga sering terlibat dalam debat terbuka dengan kaum laki-laki di masjid maupun di ruang publik lainnya untuk mengkaji berbagai problem sosial. Bahkan perempuan pada masa Nabi juga dapat menjalankan ritual keagamaan personalnya (ibadah mahdhah) di masjid bersama kaum laki-laki. Nabi mengatakan : “Jangan halangi kaum perempuan pergi ke masjid”. Umm Darda, perempuan sahabat, biasa memberikan kuliah di masjid Jami al Umawi di hadapan puluhan jama’ah, laki-laki dan perempuan. Aisyah bint Abu Bakar adalah guru dari 232 laki-laki. Umm Salamah guru dari sekitar 78 laki-laki. Dan masih banyak perempuan yang lain.

Kenapa usaha Syahrazad untuk menghentikan perbuatan keji suaminya saya kaitkan dengan kata pemberdayaan? Hal inilah yang ada dalam benak saya ketika masih menjadikan Syahrazad sebagai profile perempuan ideal. Kritik Nawal dan pengalaman hidup sebagai seorang perempuan membukakan mata saya bahwa yang dilakukan Syahrazad bukanlah pemberdayaan melainkan adalah pemperdayaan. Karena sekali lagi saya sepakat dengan Nawal bahwa pemberdayaan sebagai ruh perubahan sosial apapun harus dijalankan dengan keberanian, kejujuran, kecerdasan dan keberpihakan pada yang tertindas. Bukan dengan tipu daya. [NENG HANNAH]

Blue Diamond 6 Juli 2010




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline