Lihat ke Halaman Asli

Studi Kritis Sirah Nabawiyah

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sunan Gunung Djati-Tadinya saya tidak tertarik untuk membaca buku yang berkaitan dengan sejarah Nabi Muhammad saw.

Selain karena terlalu bernuansa klasik dan pernah dipelajari ketika kuliah, juga mengira bahwa sejarah Nabi tidak jauh berbeda dengan buku-buku lainnya.

Namun setelah bergabung dalam sebuah milis yang khusus mengkaji sejarah yang dibuat oleh kawan-kawan alumni jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya jadi tertarik lagi untuk membuka-buka dan membaca lagi buku sejarah.

Nah, pada sebuah diskusi dimilis tersebut, jamaah milis sampai pada pembahasan metodologi sejarah, bahkan mempertanyakan keabsahan metologi sejarah modern Barat. Pada milis itu saya menyatakan sepakat dengan pengugatan atau uji ulang semua khazanah kesejarahan, baik itu metodologi sejarah maupun filsafat sejarah yang berasal dari Barat.

Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah dengan standar apakah kita akan mengujinya? Kalau memang umat Islam, ulama dan sejarawan Muslim, memiliki metologi yang khas; seperti apakah?

Benarkah sejarawan Muslim memiliki metodologi atau epistemologi yang khas Islam?

Sepanjang penelusuruan saya dalam khazanah intelektual Islam, khususnya teologi, tasawuf falsafi, dan filsafat; ujung-ujungnya ada pengaruh dari khazanah kebudayaan luar Islam. Terutama ketika gencarnya proyek penerjemahan, penyalinanan, dan membuat karya yang dipesan penguasa, serta diskusi antar ulama. Tidak disangkal dalam karya-karya para ulama atau ilmuwan Islam terdahulu ada pengaruh pemikiran luar Islam. Contohnya, pada ushul fiqih sangat kentara pengaruh logika Aristoteles dalam cara-cara pengambil kesimpulan.

Bahkan, Ibnu Khaldun yang digembar-gemborkan “Bapak Sejarah” pun gaya penulisannya tidak murni dari kreativitasnya. Mungkin pengaruh metodologi hadits dan pembelaan teologi serta keberpihakkan pada penguasa lebih dominan dalam karyanya. Untuk menguji karya Ibnu Khaldun harusnya dengan sebuah “otoritas” yang benar-benar diakui semua sejarawan atau yang bersifat universal. Dan ini sangat sulit karena semua karya sejarah terjebak pada subjektivitas dan relativitas kebenaran. Sejarah Islam pascawafat Rasulullah saw pun tidak lepas dari subjektivitas mazhab dan aliran politik para penulis sejarahnya. Apalagi para penulis sejarah Islam dari Barat, pasti lebih subjektif dan dominan deislamisasi ketimbang kejujurannya.

Bagaimana dengan sejarah Islam masa Rasulullah saw; adakah alat ujinya sehingga sejarah Nabi Muhammad saw bebas diri distorsi sejarah? Saya kira upaya mengkaji Sirah Nabawiyah secara kritis telah dimulai oleh Muhammad Husain Haekal yang menulis buku Sejarah Hidup Muhammad (diterjemahkan oleh Ali Audah dan diterbitkan Litera Antar Nusa, 1995); Ja`far Subhani dengan karyanya The Message (terbitan Foreign Departement of Be`that Foundation, 1984); Ja`far Murtadha Amili dengan menulis kitab Al-Shahih Min Sirat Al-Nabiy Al-A`Zham Saw; dan Jalaluddin Rakhmat yang menguji sejarah Rasulullah saw melalui analisa hadits yang diuji dengan al-Quran. Kajiannya itu kemudian diterbitkan dalam buku Al-Mushthafa: Studi Kritis Historis Nabi Saw (diterbitkan Muthahhari Press secara terbatas dan diterbitkan ulang dengan judul Al-Mushthafa: Manusia Pilihan yang Disucikan oleh Penerbit Simbiosa pada Mei 2008 dengan tebal 226 halaman).

Dalam buku Al-Mushthafa, Kang Jalal—panggilan Jalaluddin Rakhmat—secara khusus menulis kritik terhadap hadits-hadits yang dijadikan bahan penulisan Sirah Nabawiyah dan hal-hal yang berkaitan dengan sosok Muhammad dan nubuwwah Rasulullah saw.

Menurut Kang Jalal, sejarah Nabi Muhammad saw yang sampai kepada umat Islam sekarang sudah tidak shahih karena ditulis sesuai dengan kepentingan penguasa. Setelah Rasulullah saw wafat dan sejak berkuasanya Dinasti Umayyah, banyak hadits yang dibuat-buat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk memuliakan dan mengagungkan penguasa serta mengunggulkan mazhabnya. Karena itu, untuk memperoleh sejarah Nabi saw yang benar (shahih) harus memisahkan fakta dari fiksi dan memilah kebenaran dari berbagai dusta yang dinisbatkan kepada Rasulullah saw.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline