Lihat ke Halaman Asli

Kon(tro)versi Dana Aspirasi

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sunan Gunung Djati-Munculnya wacana yang diusulkan fraksi Golkar dalam Rapat Paripurna tentang adanya dana aspirasi terus menuai kecaman.

Hal ini menjadi kontroversi sebab tak tanggung-tanggu dana yang disebut sebagai dana pembinaan daerah pemilihan (dapil) ini mencapai 8,4 Triliun atau 15 Miliar peranggota dewan.

Menjadi kontroversi disaat pandangan sinis terhadap kinerja para anggota dewan semakin berada di titik nadir, dari mulai kualitas legislasi Undang-udang yang rendah sehingga sering ”kalah” ketika dijudicial review ke Mahkamah konstitusi ataupun sering bolosnya para anggota dewan dalam setiap rapat penting, yang membuat proses pembahasan dan pengesahan RUU tersendat. Sehingga tiap tahunnya target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tidak pernah tercapai.

Maka sungguh diluar kewajaran jika para anggota dewan ini meminta ”jatah” dari APBN untuk dana aspirasi. Dalam perpektif saya, dana tersebut tidaklah penting (urgen) dan lebih baik dikonversikan kepada alokasi-alokasi sector lain yang lebih penting dan mendesak, seperti untuk kesejahteraan rakyat, mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran dan lain sebagainya.

Ada beberapa alasan kenapa saya kurang sepakat dengan pengusulan dana aspirasi tersebut. Pertama, pengusulan dana aspirasi tersebut sangatlah rancu sebab DPR dan bertentangan dengan kewenangan DPR sebab DPR tidak mengenal adanya hak bujet, DPR hanya memiliki fungsi anggaran untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidaknya terhadap pemerintah. Selain itu juga dana-dana untuk pembangunan di setiap daerah sudah dialokasikan melalui departemen dan lembaga-lembaga eksekutif.

Kedua, dana aspirasi ini rawan penyalahgunaan dana untuk kepentingan politik praktis. Saya memaknai hal ini sebagai money politic gaya baru. Money politic tidak saja saat pemilu berlangsung, dalam hal ini pun dikategorikan money politic, sebab ultimate goal-nya adalah pemilu 2014 kelak agar kursi mereka tetap “aman”.

Ketiga, dana aspirasi ini ditenggarai akan salah sasaran. Kita harus belajar bagaimana nasib dari voucher pendidikan yang diamanatkan kementrian pendidikan kepada anggota dewan, yang ternyata orang-orang yang mendapatkannya adalah orang berafiliasi dengan partai politiknya dan begitupun dengan dana aspirasi ini kelak jika digoalkan..

Ketiga, permintaan “jatah“ ini adalah akal-akalan dari para anggota dewan untuk mengembalikan dana-dana sponsorship saat kampanye pemilihan legislatif (Pileg) kemarin. Bukan rahasia lagi, bahwa duduknya mereka di kursi DPR RI saat ini menghabiskan cost yang sangat banyak. Para anggota dewan sangat pintar mereka tidak mau terjebak dan terjerat oleh komisi pemberantas korupsi (KPK). Mereka belajar betul, sebab sudah banyak para anggota dewan kawan-kawan mereka yang dijeblokan ke bui karena tindakan KKN (penyuapan, pemerasan, mafia kasus, mafia proyek, dll) sehingga mereka mencari jalan yang ”seolah-olah” legal dengan jalan “mengemis“ kepada pemerintah untuk disediakannya dana aspirasi. [OKI SUKIRMAN DZIL-AKHWAINI]

*Pengurus Badan Koordinasi (Badko) HMI Jawa Barat. (Seputar Indonesia, edisi 16 Juni 2010)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline