Sunan Gunung Djati-Lama terdiam dengan posisi kaki terjongkok, sampai kesemutan yang tak dirasakan. Lidah kelu. Tak asa satu kata pun, yang aku pikir, pantas untuk diungkapkan.
Bahkan, kondisi hati tak memberi kabar yang lebih baik. Hanya getaran ringan dan keringat dingin.
Ingin rasanya menangis. Tapi, air mata terlalu kering untuk sekedar menetes ringan. Tangan ini, hanya menggenggam sebelah batu nisan bagian kepala, di atas gundukan tanah merah. Tiga tahun tidak mengunjungi tempat ini, sungguh bukan waktu yang singkat. Ada rindu, tapi enggan menyapanya karena selalu ada irisan hati pada tiga minggu terakhir waktu itu, mencekam. Ya, tiga minggu terakhir itu, kenangan paling manis yang tak menyisakan celah untuk dapat dilupakan.
Kau terbaring lemah di atas dipan. Matamu yang setengah terbuka mengintipku dengan buku tebal dalam genggaman. Aku setia menungguh bersama semilir doa agar panas suhu tubuhmu lekas menurun. Mungkin, kita bisa kembali bersama lagi, membajak tanah; berkebun; melempar pupuk penghijau padi; dan kita akan panen padi bersama, padi yang kita taman bersama.
“Istirahat saja di sana,” itu rekaman yang selalu terngiang di daun telinga, lirih dan merdu. Tapi sekian seringnya kau menyruhku, sebanyak itu pula aku mengabaikanmu. Hanya karena bakti, karena rindu, karena besarnya harapan akan kesembuhanmu, dan tentu karena hati ini tak pernah siap kehilanganmu.
Tiga minggu lamanya aku setia di sampingmu, meninggalkan studi di Universitas, organisasi yang selalu menunggu kedatanganku, dan kekasih yang tak berhenti meminta bertemu. Tiga minggu lamanya aku memapahmu ke kamar madi, menyuapi setiap waktu makan, mengatur obat, mencari apa yang kau inginkan, dan menceritakan akan kisah indah dalam buku tebal yang aku genggem, “Laskar Pelangi” karya anak Belitong itu. Dan, tiga minggu itu pula aku sembunyikan tetesan air mata kepiluan hingga akhirnya kau tetap pergi pula, malam Minggu tepat di tengah-tengah malam. Tentu, aku menangis dengan banyak air mata yang tak sanggup lagi kusembunyikan.
Jasamu yang tak mewariskan harta dalam bentuk rupiah, sawah, tanah, dan rumah; adalah memori yang paling kuat dalam benak. Kau telah berhasil mewariskan kekayaan dalam kerendahan hati, keluhungan budi, dan keluasan alam pikir.
Kau memang tak mengajarkanku segala-galanya, karena kau pun orang terbatas, lulusan Sekolah Rendah (SR) yang tidak rendahan. Tapi kau berhasil menanamkan segala pondasi dari segala ajaran yang ada di mana pun. Karena ajaranmu pula, setelah tiga tahun lamanya tidak menyapamu, aku kembali dengan tanpa kesedihan lagi. Kalaupun getaran tangan yang menggenggam nisan ini terasa hingga sanubarimu, maafkan aku. Ini hanya karena alasan kerinduan yang tak bisa lagi kubendung.
Perlu aku akui, setelah kepergianmu, hampir tidak ada yang mendengarkan perkembangan studiku. Aku sempat ingin berhenti, tapi kau selalu berbisik dalam mimpiku. Kini aku mengerti kenapa kau selalu bersikap seolah dingin. Setiap lonjakan pemikiranku kau respon dengan sikap tanpa arah; tidak marah dan tidak bahagia. Kau hanya selalu berkata, “Apa yang kamu ketahui dan kamu lakukan, jalanilah sebagaimana kamu memahami kehidupan ini. Setiap konsekuensi dari kehidupanmu, itu hanya kamu yang akan mengalaminya.” Sungguh, kau telah mengajarkanku akan tanggung jawab.
Kabar gembira yang aku bawa kini adalah aku akan segera menjadi sarjana. Kita punya prinsif yang sama, sarjana bukanlah cita-cita. Tapi setiap tahap pembelajaran formal selalu memberikan sahadah perngakuan, biarlah aku jadi sarjana. Selain itu, aku sudah bisa (meski tidak begitu besar) membahagiakan istrimu yang kau tinggalkan seorang diri. Nampaknya ia bangga, aku bisa memikul setiap beban yang kau tinggalkan dulu.
Kehidupan memang tak banyak berubah, sebelum dan sesudah sarjana. Aku tetap berharap bisa membaca buku. Seperti yang kau ajarkan hingga tutup usia, kau guru paling bijak yang mengajarkan mengapa kita harus tetap membaca.