Lihat ke Halaman Asli

Dipati Ukur sebagai Tolok Ukur

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Salah satu manusia historis Sunda yang layak diteladani karena keberanian dan keteguhan memegang prinsip demi tegaknya ajen adalah Dipati Ukur.

Tidak berlebihan seandainya Ajip Rosidi menjadikannya sebagai manusia Sunda yang layak dijadikan referensi bersanding dengan Ki Tapa, Pangeran Kornel, Haji Hasan Mustapa, dan Dewi Sartika. Minimal langkah-langkah politik Dipati Ukur dapat menjadi ilham untuk mendefinisikan apa dan siapa manusia Sunda.

Cerita Dipati Ukur tidak kalah menarik dengan hikayat Perang Bubat. Dalam Perang Bubat banyak versi, begitu juga cerita Dipati Ukur memiliki ragam perspektif. Desertasi Edi S Ekadjati (1979), Cerita Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda, menyebut lebih dari 20 naskah yang menyinggung Dipati Ukur yang kemudian dibaginya dalam delapan tipologi: versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Banten, Mataram, dan Batavia.

Dipati Ukur bukan fiksi, melainkan tokoh sejarah manusia Sunda, wedana para bupati Priangan bawahan Mataram pada abad ke-17. Ia adalah seorang wedana yang telah memimpin sebuah pasukan besar untuk menyerang Belanda di Batavia (1628) atas perintah Mataram, tetapi tidak berhasil, bahkan justru menimbulkan konflik di dalam yang tidak kalah ruwetnya.

Dipati Ukur harus berhadapan langsung dengan Mataram sendiri yang telah terprovokasi Tumenggung Bahureksa atau Narapaksa. Justru perang melawan Mataram inilah yang menjadi pusaran konflik yang telah menyita tenaga dan pikirannya. Bahkan, pimpinan manusia Sunda lain, yakni Wirawangsa, Samahita Astramanggala, Uyang, dan Sarana, yang diajak angkat senjata, menikam dari belakang dan melaporkan niat pemberontakan Dipati Ukur kepada sultan Mataram. Tentu balasan bagi pelapor itu, tiga orang di antaranya diangkat menjadi bupati di Sukapura, Parakanmuncang, dan Bandung.

Raja-raja kecil Sunda yang diajak Dipati Ukur untuk melawan aneksasi Mataram itu tampaknya tidak hanya mencerminkan leutik burih, tetapi juga lebih mementingkan mencari politik selamat daripada harus mengobarkan “nasionalisme kesundaan” yang belum tentu menang dan atau barangkali sentimen kesundaan saat itu belum kuat untuk digalang dijadikan amunisi melawan Mataram. Sensitivitas kesukuan belum tumbuh untuk membangun solidaritas sapapait samamanis melawan penjajah.

Untuk melawan Mataram yang saat itu adalah kerajaan terbesar di Nusantara, Dipati Ukur sempat pula meminta bantuan kepada kerajaan Banten. Namun, karena situasi politik Banten sedang kacau menghadapi kompeni Belanda, permintaan itu tidak dipenuhinya.

Berakhir tragis

Apa hendak dikata, seperti dalam bahasa Sunda piit ngendeuk-ngendeuk pasir, heroisme saja tidaklah cukup. Mataram terlampau besar untuk dilawan. Gerilya itu pada akhirnya dapat dilumpuhkan oleh Mataram. Dipati Ukur dan para pengikutnya yang setia kira-kira berjumlah 2.000 laki-laki dan wanita dibawa ke Mataram untuk menerima ganjaran setimpal sebagai pemberontak: dihukum mati. Bahkan, konon para pengikut laki-laki dihukum dengan cara dipenggal, dibakar, dikuliti, dimutilasi, dan dikenai perbuatan keji lain sebagai siasat politik Mataram menebar teror dan ketakutan bahwa siapa pun bupati yang punya nyali melakukan perlawanan harus siap menghadapi risiko seperti itu.

Perang gerilya yang diperagakan Dipati Ukur, dari Gunung Pongporang, Gunung Lumbung, hingga Bumbang, tidak berkutik melawan gurita kekuasaan Mataram yang masih kuat. Ada juga bantuan dari bupati-bupati Priangan yang ternyata tidak kalah sangarnya membantu Sultan Agung melalui tangan Tumenggung Bahureksa untuk menangkap Dipati Ukur. Konteks “kiwari”

Tentu saja babad sejarah Dipati Ukur dan atau hikayat yang mirip Perang Bubat dihidupkan kembali tidak untuk membuka luka lama, apalagi menyulut sentimentalisme dangkal kesukuan. Namun, itu justru sebagai satu siasat menggali akar historisitas kesundaan agar mereka paham terhadap sejarah masa silamnya. Dengan demikian, kesalahan yang sama di satu sisi tidak diulangi lagi dan di sisi lain hal-hal positif masa lalu terwariskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline