Lihat ke Halaman Asli

”Quo Vadis” Keberadaan ”Basa” Sunda Kuna

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sunan Gunung Djati-Bahasa Sunda kuna hidup pada naskah-naskah dan prasasti Sunda kuna. Dengan demikian, bagaimana sikap orang Sunda sekarang terhadap bahasa Sunda kuna? Menurut saya, ada dua pilihan.

Pertama, menghidupkannya kembali secara umum, secara massal, dan menjadikannya bahasa lulugu. Kedua, menghidupkannya di kalangan terbatas, seperti di lingkungan universitas yang mengajarkan filologi.

Opsi pertama memang terasa muluk. Namun, bila ada kebijakan bahasa atau politik bahasa dari pemerintah yang mewajibkan pemakaian bahasa daerah dari tingkat paud (pendidikan anak usia dini), TK (taman kanak-kanak), hinggga perguruan tinggi berikut pemakaiannya di semua lini literasi, hal tersebut, saya pikir, bisa saja dilakukan, mengapa tidak.

Opsi ini dapat kita lihat contohnya dari keterangan yang disampaikan Mikihiro Moriyama dalam Semangat Baru (2005). Dalam buku ini ada bagian yang membahas tentang kebijakan pemerintahan kolonial Hindia Belanda untuk merevitalisasi bahasa Sunda. Sebagaimana yang dapat kita baca dari buku tersebut, pada mulanya para filantrop dan ilmuwan Belanda yang ada di Hindia Belanda berpemikiran romantis yang memandang bahwa tiap suku bangsa pasti mempunyai bahasa asli (purisme).

Namun, entah mengapa mereka kemudian memilih bahasa Sunda yang digunakan di lingkungan kadaleman Priangan sebagai bahasa Sunda yang resmi, basa lulugu. Mereka tidak memilih bahasa Sunda yang hidup di pedalaman Kanekes, nun jauh di daerah Banten kini misalnya yang bisa disebutkan cenderung ”bersih” dari anasir-anasir bahasa luar yang memengaruhi bahasa Sunda.

Sebelum sampai pada pemilihan dialek Priangan, para ilmuwan Belanda itu mengumpulkan kosa kata Sunda, membuatkan tata bahasanya, mencari perbedaaannya dengan bahasa Jawa — karena mula-mula bahasa Sunda dianggap sebagai hanya varian dari bahasa Jawa, membuatkan sistem ejaannya, mencetak buku-buku berbahasa Sunda — terutama dirintis oleh K.F. Holle.

Pencetakan dan penerbitan buku Sunda ini kemudian disebarkan. Bahasa Sunda diwajibkan untuk diajarkan kepada murid-murid sekolah rakyat. Buku-buku berbahasa Sunda wajib dibaca. Ilmu-ilmu pengetahuan pun untuk keperluan itu dibuatkan dalam bahasa Sunda. Semuanya jadi serbabahasa Sunda.

Namun, kini kita dapat memikirkan bahwa sebenarnya ada agenda tersembunyi (hidden agenda) pemerintah Hindia Belanda manakala memilih bahasa Sunda Priangan. Tentu terang maksudnya, mereka ingin melanggengkan kekuasaannya di sini. Dengan menggunakan bahasa Sunda Priangan, kadaleman, panta-panta orang, undak-usuk akan abadi. Dengan demikian, pandangan kepada orang pun akan tetap berbeda-beda pula. Ada yang tinggi derajatnya, ada yang rendah derajatnya, ada yang mulia, ada yang hina. Maka, Belanda yang memerintah secara tidak langsung, hanya melalui kaki tangannya, akan terus menyebabkan mereka memerintah dengan cara demikian. Mereka akan tetap membiarkan saja pribumi yang eksklusif dan elitis memerintah pribumi yang inklusif dan lemah. Tetap membiarkan saja orang pribumi memeras orang pribumi. Itu memang disengaja, saya kira.

Kembali ke soal bahasa Sunda kuna, bila opsi menghidupkan kembali secara keseluruhan tidak diambil karena dianggap cenderung muluk-muluk dan tidak realistis, sikap kita tatkala berhadapan dengan bahasa Sunda kuna, saya pikir, yang paling dekat dan mungkin adalah mengajarkannya di universitas yang ada di Jabar dan Banten –apalagi universitas yang memakai nama-nama Sunda beserta variannya — terutama yang mempunyai mata kuliah filologi.

Bahasa ini, saya pikir mutlak diperlukan bila suatu ketika para mahasiswa ingin melanjutkan studi lebih lanjut mengenai naskah-naskah atau prasasti yang berbahasa Sunda kuna. Oleh karena itu, mutlak sekali untuk mengajarkan mata kuliah bahasa Sunda kuna selama beberapa semester.

Opsi ini diambil tentu saja ada latar belakangnya. Saya pikir karena hingga kini yang dapat membaca serta menerjemahkan baik prasasti maupun naskah berbahasa Sunda kuna tinggal sedikit.  (Atep Kurnia, bergiat di Pusat Studi Sunda/PSS)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline