Lihat ke Halaman Asli

Seksualitas Perempuan dalam Perspektif Islam (Bagian I)

Diperbarui: 4 April 2017   16:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Zainab sangat shock setelah melakukan hubungan seksual pertama kali dengan suami di malam pertama pernikahannya. Betapa tidak, selain darah yang keluar cukup banyak, juga rasa sakit yang teramat sangat ia rasakan. Suami yang baru dikenalnya tiga bulan sebelum pernikahan  ini tetap memintanya melayani hubungan seksual tanpa mengetahui apa yang terjadi pada diri Zainab. Berulangkali Zainab ingin mengutarakan kondisinya ini, namun rasa malu dan pemahamannya tentang perempuan dalam Islam yang harus mau melayani suaminya dalam kondisi apapun menjadikannya tetap terdiam. Setiap kali suaminya mengajak berhubungan seksual, maka tiba-tiba rasa mual dan tidak nyaman menghampirinya meski kini pernikahannya sudah memasuki tahun ke-9 dan dikaruniai 3 anak. Ia berfikir apakah seperti ini semua perempuan dalam berhubungan seksual? Hanya menjadi objek dan kemudian bereproduksi melahirkan anak? Membicarakan seksualitas bagi sebagian masyarakat masih dianggap tabu secara normatif, meskipun pada kenyataanya hal itu merupakan tema pembicaraan yang menarik yang selalu diproduksi oleh masyarakat dalam berbagai bentuk wacana. Mulai dari perbincangan warung kopi sampai rumor di tingkat politisi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan seksualitas? Bagaimana Islam memandang seksualitas? Pengertian Seksualitas Apa yang terpikirkan saat mendengar kata seksualitas? Mungkin kita berpikir tentang seks. Pikiran kita tidaklah keliru. Namun seksualitas bukan hanya tentang seks. Seks dan seksualitas merupakan dua hal yang berbeda. Seks berhubungan dengan masalah biologis pada perempuan dan lelaki, sementara seksualitas sangat luas cakupannya tidak hanya pada aspek biologis semata. Seksualitas adalah tentang bagaimana seseorang mengalami, menghayati dan mengekspresikan diri sebagai makhluk seksual, dengan kata lain tentang bagaimana seseorang berpikir, merasa dan bertindak berdasarkan posisinya sebagai makhluk seksual. Segala sesuatu yang ada kaitannya dengan seks (ada kaitan dengan kelamin) tercakup di dalamnya. Hubungan seks hanyalah salah satu aspek, namun secara umun seksualitas memang selalu dihubungkan dengan hubungan seks (persetubuhan).1 Seksualitas merupakan konsep dan kontruksi sosial terhadap nilai dan perilaku yang berkaitan dengan seks, maka konsep seksualitas akan berbeda menurut tempat dan waktu.2 Perbedaan ini bukan hanya dalam makna seksualitas antar kebudayaan, tetapi juga dalam pemaknaan yang ada dalam budaya itu sendiri. Hal ini menurut Saptari yang dikutip dari Truongh karena diskursus seksualitas mengatur tiga dimensi kehidupan manusia yang meliputi: pertama, dimensi biologis yaitu yang menyangkut kegiatan seks sebagai kenikmatan biologis atau untuk mendapatkan keturunan. Kedua, dimensi sosial yang meliputi hubungan-hubungan antara individu yang melakukan hubungan seks secara sah atau tidak sah (menurut ukuran masyarkat yang bersangkutan). Ketiga, dimensi subjektif yang berhubungan dengan kesadaran individu terhadap seksual diri sendiri atau kelompok3. Dengan batasan yang begitu luas, seksualitas menjadi sebuah diskursus yang menyangkut perilaku jenis kelamin sekaligus sebagai seperangkat gagasan yang membentuk norma. Keduanya saling berhubungan satu sama lain. Apabila ditelaah dan diteliti, seksualitas merupakan sebuah konsep, kontruksi sosial terhadap nilai, orientasi, perilaku yang berkaitan dengan seks. Contohnya, perempuan dianggap melanggar sesuatu nilai kalau ia melahirkan tanpa suami. Contoh lain, laki-laki dalam pandangan masyarakat harus jantan dan dalam berprilaku seksual harus agresif. Maka bila perempuan yang agresif akan dianggap menyalahi kontruksi sosialnya dan menjadi aib. Permasalahan yang mendasar dalam seksualitas terjadi karena hubungan perempuan dan laki-laki tidak seimbang. Hubungan jender dan pemahaman seksualitas sebagai kontruksi sosial dalam masyarakat dipandang sebagai kodrat. Dengan demikian, jika hak reproduksi adalah hak setiap orang untuk membuat keputusan yang berhubungan dengan reproduksi yang bebas dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan, maka kegiatan yang berhubungan dengan proses reproduksi yaitu hubungan seksual, juga harus bebas dari paksaan, kekerasan dan diskriminasi. Kemudian bagaimana ajaran Islam memandang seksualitas menjadi topik yang akan dibicarakan selanjutnya. Seksualitas dalam Islam Beberapa pandangan moralis tradisionalis tertentu menganggap bahwa  hubungan seks merupakan sesuatu yang pada dasarnya buruk. Mereka memandang bahwa hubungan seks, sekalipun dengan istri atau suami sah adalah sesuatu yang kotor, jahat, tidak baik, destruktif dan seolah-oleh merupakan sifat orang-orang yang berdosa. Mernissi mengatakan bahwa dalam pengalaman Kristen Barat, seksualitas diserang dan diturunkan posisinya sebagai sifat kebinatangan dan dikecam sebagai anti peradaban. Sehingga individu terpecah ke dalam dua diri yang saling bertentangan; jiwa dan badan, Ego dan Id. Kemenangan sesuatu yang terkendali, kemenangan jiwa terhadap seks.4 Di kalangan orang Islam, pembicaraan tentang seksualitas dilakukan secara diam-diam dan tertutup karena topik ini dianggap sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dalam relasi antar manusia. Seperti yang diceritakan oleh Abu Syuqqah: Pada masa Nabi di Madinah terjadi diskusi antara orang-orang Anshar dan Muhajirin tentang kapan seseorang wajib mandi jinabat. Lalu ada yang mengusulkan agar bertanya kepada Aisyah r.a (istri Nabi). Di antara semua orang yang hadir tidak ada yang berani menanyakannya karena malu, sampai ada seorang yang memberanikan diri dan berkata: “Wahai Ummul Mukminin, saya ingin menanyakan sesuatu padamu, tetapi malu”. Aisyah berkata: “Jangan malu bertanya kepadaku tentang sesuatu yang biasa kau tanyakan kepada ibu yang melahirkanmu, karena aku adalah ibumu”. Lalu dia bertanya tentang hukum wajib mandi   jinabat, dan Aisyah menjelaskan bahwa Rasulullah pernah bersabda: “Apabila laki-laki (suami) berada di antara empat anggota tubuh istrinya (antara kedua tangan dan kakinya) dan zakar laki-laki masuk kedalam vagina, maka wajiblah mandi.5 Rasa malu berkembang di kalangan muslim, mungkin karena ada hadis riwayat Bukhari dan Muslim yang berbunyi: Inna al-hayya'a min al-iman, yang artinya bahwa malu adalah bagian dari iman. Maka, rasa “malu” semakin membuat persoalan sekitar seksualitas menjadi tertutup. Meskipun banyak pemikir yang menganggap sudah saatnya masalah malu ditempatkan secara proporsional, karena tertutupnya segala sesuatu seputar seksualitas, justru membuat orang semakin penasaran dan menempuh jalan yang salah dalam mengetahuinya. Abu Syuqqah secara terbuka mengatakan: Seluruh anggota tubuh manusia itu suci dan mulia, baik alat untuk berpikir, alat untuk makan dan minum, maupun alat-alat reproduksi. Demikian pula, seluruh perbuatan manusia adalah suci dan mulia jika dilakukan sesuai dengan syari'at Allah, baik berdagang, berperang, maupun melakukan hubungan biologis. Karena itu, wajarlah jika syari'at menyebut alat-alat reproduksi, aktivitas-aktivitas biologis, dorongan-dorongannya serta akibat dan hasilnya dalam situasi dan kondisi yang tepat, sebagaimana tidak terlarangnya menyebut tangan dan mulut, atau darah dan air mata. Karena itu tidak ada halangan pula menyebut kemaluan dan farji, nuthfah, mani. Tidak terlarang pula menyebut lapar dan puasa, atau menyebut memakan makanan dan meminum air. Tidak terlarang pula menyebut haid dan suci, atau menyebut bercumbu dengan istri atau menyentuh istri, asalkan dilakukan sesuai syara' dengan cara yang sopan dan dengan tujuan untuk kemaslahatan kaum mukminin dan mukminat dalam urusan agama dan dunia mereka. 6 Senada dengan pandangan di atas, Murata menyebutkan bahwa banyak ayat al-Qur'an dan hadis nabi -belum lagi sunnah atau perbuatan Nabi--yang menjadi dasar penilaian Islam yang secara umum positif mengenai hubungan seksual. Pada satu tingkat, Islam memandang hubungan seksual sebagai bagian alamiah dan normal dari ciptaan Tuhan. Dalam hubungan ini, pendekatan Islam mengikuti garis-garis pedoman yang terkenal yang tidak membawa kepada rasa keterampasan dan frustasi seksual, ataupun penindasan dan pelarangan dorongan seks. Islam bertujuan untuk mengatur seksualitas manusia dalam suatu cara pandang yang paling alami, dan Isalm tidak mengajarkan penindasan asketik terhadap nafsu seks ataupun nafsu alamiah yang lain.7 Tentang hal ini, Muthhari menyatakan bahwa nafsu seksual tidak saja sesuai dengan intelektualitas dan spiritualitas manusia, tetapi juga sebagai bagian dari watak dan tempramen para nabi. Karena menurut hadis, cinta dan kasih sayang terhadap perempuan adalah karakteristik dari perilaku moral para nabi (min akhlaqi al-anbiyai hubb an-nisai).8 Masalah seksualitas terutama hubungan seks lebih dipertegas lagi dalam al-Qur'an yang secar terbuka memerintahkan, ”Apabila mereka (para istri) telah suci (dari haid), maka campurilah mereka itu sebagaimana telah diperintahkan Allah”9. Pernyataan diperintahkan tidak mengacu pada takdir hukum (syar'i). Yakni bahwa kata-kata itu tidak dimaksudkan begitu si istri suci dari haid maka si suami harus segera mengadakan hubungan seks dengannya. Pernyataan tersebut merupakan takdir kreatif (kauni) serta mengacu kepada dorongan seks yang  telah diletakan Allah pada watak alami manusia. Dalam hubungan seks, biasanya suami lebih berperan sedangkan istri melayani prakarsa suaminya. Akan tetapi dalam pandangan Islam, hubungan seksual lebih didasarkan pada saling menghormati dan saling pengertian, hingga kewajiban suami untuk mempergauli istrinya dengan baik telah ditunjukan oleh al-qur'an, antara lain: ”Istri-istrimu adalah (seperti) tanah ladang bagimu, maka datangilah tanah ladangmu sebagaimana kamu kehendaki”.10 Ayat ini menunjukan kebiasaan bahwa suami (laki-laki) lebih berperan dalam masalah hubungan seks baik untuk melakukan aktivitas seks maupun dalam cara ketika melakukan hubungan seksual. Namun, kebolehan tersebut diiringi oleh kewajiban yang harus dilakukan oleh laki-laki (suami) karena al-Qur;an memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh suami. Di antara ayat yang dapat dijadikan landasan atau pijakan dalam berhubungan dengan istri adalah ayat berikut: ”Dan pergaulilah istri-istrimu dengan cara yang baik, kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.11 Ayat lain yang mengisyaratkan kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan dalam hubungan seksual adalah: ”...mereka itu adalah pakaian bagimu dan kalianpun adalah pakaian bagi mereka...”12 Kesetaraan antara suami dan istri untuk mendapatkan kepuasan seksual begitu penting dalam Islam. Apabila si istri tidak mendapatkan kepuasan seksual dari suaminya, maka si istri dibenarkan menuntut talak dari hakim sebagai mana pandangan imam Malik, jika suami bersumpah untuk tidak melakukan hubungan badan, istrinya bisa menuntut talak dari hakim, dan ini dibenarkan sebagai salah satu illat perceraian yang dibenarkan.13 Apabila secara teoritis ajaran Islam melihat seksualitas perempuan dan laki-laki seimbang, yaitu sama-sama dihargai sebagai dorongan kebutuhan yang manusiawi, pada praktiknya sering tidak terbukti. Perempuan, karena konstruk budaya, menempatkan diri sebagai pihak yang harus melayani ketimbang harus menuntut hak. Sehingga dalam hubungan seksual terutama dalam pernikahan, istri sering menjadi objek seksual bahkan mendapat kekerasan seksual dalam pernikahan (marital rape) seperti cerita di awal tulisan ini. Kenapa ini bisa terjadi?  [NENG HANNAH, Pengasuh Kolom Gender Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Selasa]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline