Lihat ke Halaman Asli

Suluk Haji Hasan Mustapa

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sunan Gunung Djati-Suluk artinya jalan spiritual. Pelakunya dikatakan salik (pengembara spiritual) yang selalu mencari kebenaran. Seorang salik adalah seorang manusia soliter yang dengan khidmat melakukan komunikasi ketuhanan (transendensi) sekaligus juga manusia solider yang giat melakukan gerakan kemanusiaan (humanisasi).

Di tanah Pasundan, Haji Hasan Mustapa diakui sebagai seorang salik bahkan ia disebut-sebut sebagai The Great Sundanese Mystic (Seorang Sufi Besar Sunda).

Ajip Rosidi mendeskripsikannya sebagai mistikus dan filsuf Islam yang hanya dapat dihitung dan berkembang di lingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan Sunda.

Kebesarannya mencuat karena dia tidak hanya berhenti menjadi pengamal tradisi suluk (tarekat) namun juga sekaligus sebagai seorang pemikir yang dengan produktif menulis ajaran suluknya. Karyanya sangat melimpah mencapai 54 buah buku dan 10.000 guguritan dengan tema yang cukup beragam.

“Guguritan & danding”

Sebagian besar refleksi suluknya ia formulasikan dalam gaya ungkap guguritan dan danding yang kaya akan metafora dan tanda. Layaknya langgam bahasa metaforis selalu diapresiasi dengan menyisakan dua kemungkinan: pertama, keragaman makna yang menimbulkan kekayaan horizon; kedua, pendangkalan arti karena kesalahan pemahaman. Dalam telaah Roland Barthes, metafora dan tanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens).

Kepadatan perenungannya merupakan cermin pribadinya sebagai manusia pembelajar yang tidak pernah henti mencari pengetahuan. Kehausan ilmiahnya ini dibuktikan dengan perjalanan (rihlah) untuk berguru ke berbagai ulama baik yang ada di nusantara seperti Kiai Haji Hasan Basri (Kiara Koneng, Garut), Kiai Haji Yahya (Garut), Kiai Abdul Hasan (Tanjungsari, Sumedang), Kiai Muhamad (Cibunut Garut), Muhamad Ijra`i (murid Kiai Abdulkadir, Dasarema, Surabaya) dan Kiai Khalil (Bangkalan, Madura) atau ke ulama yang ada di luar negeri seperti ke Syeh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, Sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi di Mekah. Termasuk wisata kulturalnya ke berbagai pelosok Jawa dan Madura bersama karibnya Snouck Hurgronye tahun 1889.

Pencari kebenaran

Kedalaman refleksinya adalah simpul dari kepribadiannya yang tidak pernah reureuh (berhenti) mencari k(K)ebenaran seperti dengan memukau diutarakan dalam sebuah guguritan-nya: Jung nutur-nutur suhud//Kalangkang ti sanubari//Mapay talapakan sanubari//Di mana nya mukti sari//Di mana Alloh kaula//Bisi pahili papanggih//Kadungsang-dungsang kasandung//Manggih lain manggih lain//Rek nanya nanya ka saha//Keur pada ngalain-lain//Teu kaur asa paisa//Asa enya asa lain//Di buru da lain kitu//Di lain-lain da bukti//Di jaga-jaga ka saha//Di sidik-sidik aringgis//Wantu mapay nu neangan//Kapanggih aringgis lain. Namanya juga pada konsep Martabat Tujuhnya dalam naskah Gelaran Sasaka di Kaislaman.

Yang cukup menarik, walaupun dia khatam belajar di Mekah bahkan pernah menjadi guru di Masjidil Haram, ia tidak pernah tertarik untuk mengikuti paradigma paham keagamaannya Saudi Arabia yang skripturalis, tapi justru ia suntuk melakukan “korespondensi intelektual” dengan para sufi abad pertengahan yakni Syaikh Muhyi al-Din ibn `Arabi melalui kitab al-Futuhat al-Makiyya dan `Abd al-Karim al-Jilli melalui kitab al-Insan al-Kamil fi Ma`rifat al-Awakhir wa al-Awa`il , al-Ghazali melalui kitab Ihya `Ulum al-Din.

Metafora “caruluk”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline