Lihat ke Halaman Asli

Spirit Keibuan; Secercah Cahaya

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ku lihat ibu pertiwi sedang bersusah hati Air matanya berlinang, emas intan yang terkenang Hutan gunung sawah lautan simpanan kekayaan Kini ibu sedang lara, merintih dan berdoa Sunan Gunung Djati-Lagu ini sering saya nyanyikan semenjak duduk di bangku sekolah dasar. Ada rasa haru setiap kali menyanyikannya. Namun tak pernah sekalipun saya memikirkan kenapa perasaan haru hadir, yang terpenting lagunya enak untuk dinyanyikan.

Saat ini, bila mendengar atau menyanyikan kembali lagu ini rasa haru itu tetap ada. Rasa haru ini mengundang sejumlah tanya kenapa mesti haru? Saya mencoba memikirkan dan memahami munculnya perasaan tersebut. Perasaan haru ini mungkin muncul dari kata-kata dalam lagu yang menceritakan ibu pertiwi yang saya pahami sebagai tanah air/bumi (ibu) yang mengalami kesusahan hati akibat perbuatan anak-anak mereka (manusia).

Saat ini, ibu adalah sebuah fungsi dalam kehidupan yang telah saya jalani. Dua orang perempuan mungil telah lahir dari rahim saya. Perjuangan untuk kehadiran mereka dimuka bumi sampai saat ini bukanlah hal yang mudah. Banyak hal yang sudah dipertaruhkan. Banyak hal yang sudah dikorbankan. Banyak hal pula yang telah saya dapatkan. Sebelum menjadi ibu, seseorang harus menjadi anak terlebih dahulu. Lintasan ingatan berkelana menjelajahi relasi saya dan ibu. Ibu saya merupakan sosok perempuan yang tekun. Perempuan mandiri yang berjiwa kreatif. Apapun yang ada ditangannya bagi saya anaknya adalah hal yang menyenangkan. Namun semua hal itu tak menjadikan saya sepenuhnya menjadi anak yg patuh. Kenakalan saya dan protes keras saya pernah menjadikan air mata menetes deras dari kedua matanya. Tapi ibu tetaplah ibu, meski airmata keluar namun yang terlahir dari mulutnya adalah sebuah doa “mudah-mudahan kamu jadi ibu yang baik untuk anak-anakmu”. Lintasan peristiwa hidup diatas mengingatkan saya pada etika feminin yang dibahas oleh Sara Ruddick. Seorang ibu akan tetap mengalirkan kebijaksanaan dan cinta bagaimana pun dan apa pun yang terjadi pada anaknya. Menurut Ruddick, para ibu yang sehari-hari menggeluti dan meresapi persoalan anak-anaknya, ikut dalam permainan anak-anaknya, ahli di bidang peleraian perkelahian anak-anaknya merupakan ibu-ibu yang dapat berfikir secara intuitif/metafisis, sekaligus pemikir dan pelaksanan otoritas moral yang seringkali dianggap remeh. Tujuan seorang ibu dalam keibuannya bukanlah dominasi dan penaklukan. Akan tetapi keseimbangan dalam relasi, melakukan perawatan, penumbuhan dan pengembangan. Bagi seorang ibu, anak tidak dilihat sebagai suatu dualisme seperti yang dikemukakan oleh Descartes, yakni ada badan dan ada mind. Lebih dari itu, bagi intuisi seorang ibu seorang anak merupakan kesatuan dengan dirinya yang berdasarkan maternal spirit (spirit keibuan) yang terus hidup dan berkembang. Spirit keibuan ini sebenarnya dapat menyelesaikan hal-hal penting di dunia ini. Kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi dimana-mana. Kerusakan alam yang kian hari kian parah. Moralitas rendah yang berawal dari pengobjekan terhadap pihak lain. Spirit keibuan merupakan secercah cahaya yang bisa menebarkan harapan dan kedamaian. Spirit ini pun bisa dimiliki oleh siapa saja. Tua dan muda, lelaki dan perempuan. Sehingga ibu pertiwi bisa tersenyum kembali. Selamat hari ibu. [NENG HANNAH, Pengasuh Kolom Gender Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Selasa] Blue Diamond 21 Desember 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline