Lihat ke Halaman Asli

Bila Alam Berunjuk Rasa

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Unjuk rasa menjadi ciri utama dari zaman ini. Tak cuma para mahasiswa dan buruh yang semakin gemar menyuarakan aspirasinya.

Alampun melakukan unjuk rasa. Seperti mahasiswa dan buruh, alam pun menampilkan “pertunjukan” yang gagah, bergerombol, tak kenal dialog, dan berteriak kumau tak seorang kan merayu.

Lalu kita saksikan lumpur berunjuk rasa di Sidoarjo, air bah Tsunami menggelar aksi di Aceh dan Nias, dan kini air banjir dari zaman Nabi Nuh datang lagi di banyak tempat juga di ibukota negara.

Bila alam yang ikut berunjuk rasa, tentulah ia memiliki aspirasi. Ia pernah ditindas, dilibas aspirasinya, lalu pada kesempatan yang tepat ia bersuara –menunjukkan kekuatannya. Apakah alam adalah makhluk yang sadar? Ya, paling tidak demikian keyakinan suku Baduy. Dunia atau alam bukan sekadar tempat yang mati. Dunia adalah juga makhluk yang hidup, dapat berdialog, dan memiliki sejumlah hak  dan kewajiban. Banyak hadits Nabi yang bilang bahwa setiap debu  mencatat semua perbuatan manusia, kemudian melaporkannya pada Tuhan. “Aku tak mau dijadikan pelacur,“ begitu kira-kira tuntutan unjuk-rasa dari alam. Istilah pelacur pernah dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr dalam Man and Nature, “manusia modern memperlakukan alam seperti pelacur, diperas kenikmatannya tanpa pernah dipedulikan nasibnya –apalagi dipelihara“.  Kitalah orang yang dimaksud Nasr. Kitalah yang terus memompa air tanah tanpa mau membuat sumur resapan, menebang pepohonan tanpa memberi kompensasi pada tanah, kita juga yang menghargai alam hanya sebagai tempat sampah.  Selama ini alam begitu sabar, namun kesabaran ada juga batasnya. Karena selama ini alam terus-menerus dipaksa berbakti pada manusia –memberi air terjernih dan buah-buahan terlezat– tanpa pernah diberikan haknya, maka wajar saja bila alam merasa  perlu untuk berunjuk rasa. Kepada siapa? Lagi-lagi sejumlah mahasiswa dan aktivis menunjuk hidung kepada para penguasa, seraya menuntut mereka mundur. Padahal air tak pernah peduli pada penguasa. Sedari dulu, penguasa memang sangat jumawa dan penuh janji kosong. Alam semesta menangis sedih ketika ditawari menjadi penguasa dunia, “Dosaku apa, ya tuhan, sehingga kau memintaku menjadi penguasa?“ Alam, saat ini, sedang berunjuk rasa pada kita semua. Kitalah yang memilih para penguasa itu, yang dengan mudah menukarkan hak pilih hati nurani dengan uang recehan. Kitalah yang telah menempatkan wakil rakyat “pejuang PP 37“ itu di kursi parlemen. Kita juga yang terus-menerus membuang sampah sembarangan, membiarkan hutan digunduli, menonton gunung diratakan, dan ikut membolongi ozon. Kitalah yang diminta alam untuk segera sadar, diminta kembali menjadi bagian dari alam semesta.Sebagai makhluk, alam memiliki rasa kesal juga. Masaru Emoto bilang bahwa air (salah satu unsur alam) memiliki rasa yang sensitif. Air mengubah-ubah bentuk molekularnya sesuai dengan apa yang diterimanya. Bila suasana kehidupan ramah, air akan berbentuk indah; bila menyebalkan, air akan berbentuk monster. Kini monster itu mengamuk di ibu kota, menggedor semua pintu lalu menghanyutkannya –menyulap semua impian manusia jadi musnah dalam seketika. Alhamdulillahiladzi ja`alna ma’a thahura (terima kasih Tuhan telah menjadikan air sebagai pembersih). Segala yang kotor dan hina akan dibersihkan oleh air. Juga sikap kita yang tak pantas telah dibersihkan oleh banjir. [BAMBANG Q ANEES, Pengasuh Kolom Filsafat Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Rabu]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline