Lihat ke Halaman Asli

Sumatra, Bukan Sumatera!

Diperbarui: 26 Juni 2015   18:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sunan Gunung Djati-Sebenarnya sudah sejak lama saya ingin memposting tulisan ini, tepatnya sejak gencarnya pemberitaan tentang gempa bumi di Sumatra Barat (Sumbar).

Saya ingin mengoreksi penulisan kata “Sumatra”, bukan “Sumatera”. Mayoritas media massa menulis “Sumatera”, hanya sebagian kecil media yang menuliskannya dengan benar, “Sumatra”, sesuai dengan kaidah EYD tentang penulisan kata-kata baku dan tidak baku.

Yang kian mendorong saya mem-posting tulisan ini yaitu ketika menerima naskah koreksian sebuah tabloid. Dalam tabloid itu, isu gempa Sumatra menjadi topik utama dan banyak dibahas di rubrik lain. Redaksi tabloid tersebut menulis “Sumatera”, lalu saya edit, saya koreksi, menjadi “Sumatra”. Lucunya, setelah dikirim balik, editor tabloid tersebut mencoret hasil koreksi saya dan menuliskan kembali kata “Sumatera”.

Sayang, ketika saya mengecek kata “Sumatera” dan “Sumatra” di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, keluar ini: “Tidak menemukan kata yang sesuai dengan kriteria pencarian!!!”

Pengetahuan soal kata-kata baku dan tidak baku rupanya masih menjadi salah satu masalah di redaksi media. Saya yakin, kesalahan penulisan itu semata-mata karena ketidaktahuan dan salah kaprah, yakni kesalahan yang berulang-ulang terjadi tanpa ada yang mengoreksi sehingga merasa benar.

Saya tidak tahu, apa yang dilakukan lembaga-lembaga bahasa yang bertanggung jawab mengawal tata bahasa Indonesia sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), saat mereka melihat begitu banyak kesalahan menulis kata baku. Mestinya mereka bertindak, mengirimkan surat koreksi, bahkan teguran, sekaligus sosialisasi kata baku (EYD).

Anehnya, saya kok suka merasa risih, terganggu, jika melihat ada kesalahan penulisan kata atau kalimat di media massa atau di reklame. Misalnya, saya masih sering melihat penulisan kata “pun” yang disatukan dengan kata yang diikutinya, seperti “apapun”, “siapapun”, “dimanapun”, “akupun”, “diapun”, dan sebagainya. Mestinya, partikel pun yang artinya juga atau sebagai penegasan, ditulis terpisah dengan kata yang diikutinya. Jadi, penulisan yang benar adalah “apa pun”, “siapa pun “, “di mana pun”, “aku pun,” dan “dia pun”.

Penulisan “pun” hanya disatukan dalam kata yang memang merupakan satu-kesatuan, seperti meskipun, walaupun, adapun, dan kalaupun.

Contoh lain adalah penulisan sifat Allah “maha”. Yang benar, jika kata dasar yang digunakan, maka penulisannya disatukan, misalnya “Mahakuasa”, “Mahakaya”, “Mahakasih”, “Mahabijaksana”, bukan “Maha Kuasa”, “Maha Kaya”, “Maha Bijaksana”, kecuali “Maha Esa” yang sudah “telanjur” masuk dalam Pancasila. Jika bukan kata dasar, penulisannya dipisah, seperti “Maha Mengetahui”, “Maha Berkehendak”, “Maha Pemberi”, “Maha Pengampung”, “Maha Pengasih”, dan “Maha Penyayang”.

Di blog ini saya sudah posting daftar kata baku dan tidak baku yang mestinya disosialisasikan oleh lembaga bahasa yang sudah digaji dan didanai oleh negara! Uh, payah…! Ke mana lembaga bahasa neeh…? Wallahu a’lam. (www.romeltea.com).* [ASM ROMLI, Pengasuh Kolom Jurnalistik Sunan Gunung Djati yang terbit setiap hari Sabtu]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline