Lihat ke Halaman Asli

Harapan Menyembelih ‘Ismail’

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Ada satu hal yang membuat hidup saya berirama. Membuat hidup selalu berwarna. Membuat hidup selalu bergairah. Hal tersebut adalah harapan. Ya, harapan membuat saya bersemangat setiap kali terjatuh dalam kesedihan dan kekecewaan.

Seperti yang pernah terjadi sepuluh  tahun lalu saat saya mengalami perasaan jatuh cinta dan sekaligus patah hati karena ditolak dan diabaikan. Saat saya kuliah semester 5, saya mengalami perasaan jatuh cinta yang membuat tersiksa. Saat perasaan itu datang saya selalu ingin menyangkalnya. Jatuh cinta pada seseorang bagi saya saat itu adalah sebuah kesalahan.

Saat itu saya sudah menegaskan diri bahwa hidup adalah cinta pada Allah. Cinta pada seseorang haruslah datang pada saat yang tepat dan pada orang yang tepat. Saat yang tepat adalah setelah pernikahan dan orang yang tepat adalah suami. Pemahaman inilah yang selama ini ditanamkan oleh keluarga. Karenanya perasaan jatuh cinta yang saya alami seperti sebuah siksaan yang kejam. Dada saya sering sesak bila memikirkannya. Saya tak berani membicarakannya apalagi mengakuinya. Perasaan ini saya simpan sendiri. Saya takut keluarga akan marah bila tahu saya sedang jatuh cinta pada seseorang. Seringkali saya merasa bersalah dan menangis di setiap shalat malam.

Saya berusaha keras untuk terbebas dari perasaan tersiksa ini. Semakin saya menyangkalnya semakin sakit terasa. Dengan sisa keberanian yang saya miliki, saya mencoba menghadapinya. Dengan resiko ditertawakan dan dianggap kotor hati, saya mencoba untuk membicarakannya. Keluarga, terutama kakak perempuan adalah pihak pertama yang saya ajak bicara. Saya sampaikan perasaan saya apa adanya. Anehnya, dia tidak mentertawakan apalagi menganggap hati saya kotor. Justru dia menghargai keberanian saya membicarakan perasaan jatuh cinta yang menyiksa. Saat itu perasaan saya agak lega. Ternyata apa yang saya alami bukanlah hal buruk.

Perasaan jatuh cinta tak mengenal kata ’saat yang tepat’. Ia bisa datang kapan saja. Setelah itu keberanian saya bertambah.  Lalu saya mencoba mengungkapkan perasaan itu pada seseorang yang selama ini mengganggu pikiran saya. Saya bilang “gue suka lo”. Saya tak berani mengungkapkan langsung dihadapannya. Saya mengatakannya lewat telfon. Kelegaan saya semakin bertambah. Rasanya separuh beban yang memenuhi hati ini terangkat begitu saja. Tetapi…kelegaan itu tak bertahan lama. Beban itu kembali menyesaki dada ketika apa yang saya ungkapkan tidak diresponi, apalagi dijawab. Namun yang jelas dia memilih yang perempuan lain dan menikahinya. Saya patah hati. Saya kecewa. Saya Sedih. Rasa sakitnya melebihi perasaan jatuh cinta yang menyiksa. Harga diri sempat saya simpan untuk menyampaikan perasaan ini. Konsep Cinta pada Allah yang saya jalankan selama ini hancur berantakan. Saat itu saya merasa kehilangan kepercayaan diri. Saya merasa jadi orang terbodoh di dunia.

Pada sebuah malam muhasabah di Darut Tauhid, saya mencoba menghibur kesedihan dan kekecewaan yang sedang dialami. Saya sebenarnya tak ingin lari dari permasalahan. Untuk sembuh saya harus menghadapinya. Tapi saya butuh waktu dan hiburan sementara ini. Karena itulah saya berada di tengah kumpulan jamaah Darut Tauhid malam itu. Seorang penceramah menceritakan tentang sebuah kisah hikmah tentang seseorang yang kamarnya berantakan akibat perbuatan seekor ayam. Ayam tersebut tidak saja membuat kamar tersebut berantakan, tapi ia menumpahkan segala macam yang ada di kamar sehingga mengotorinya bahkan sang ayam sempat membuang kotorannya di sana. Terbayang betapa marah sang empunya kamar akibat perbuatan ayam tadi. Tapi bagaimana pun juga kemarahannya tak kan berguna apa-apa, karena bila sang empunya kamar menutup rapi pintu kamar, tak kan mungkin si ayam punya kesempatan masuk untuk mengacak-ngacak kamar. Hal yang harus dilakukan oleh sang empunya kamar setelah kejadian tadi adalah membersihkan dan merapihkan lalu menutup pintu kamar dengan rapi.

Hati diibaratkan sebuah kamar/ruang yang harus dijaga dan dirawat keindahannya. Agar ruang tersebut nyaman dan berfungsi dengan baik. Tak ada seorang makhlukpun bisa menempati ruang tersebut bila Allah telah mengisinya. Karena Allahlah yang telah menciptakan ruang tadi. Bila yang lain mengisinya sebagai tandingan Allah maka kamar itu akan terasa sempit dan sesak. Sebagaimana al-Qur’an menyebutkan dengan indah “Sesungguhnya Aku tidak menciptakan dua ruang di dalam dada manusia”. Bila Allah tak berada di sana, maka yang lainlah penghuninya.

Kisah tadi begitu mengena di hati saya yang sakit dan berantakan. Ya, hati adalah sebuah ruang. Saya telah membiarkan ruang hati ini terbuka untuk seseorang yang tak mendekatkan diri kepada Allah. Seseorang yang jiwanya tak kukenal. Seseorang yang entah mulai kapan memalingkan hati ini dari mengingat-Nya. Rasa sakit yang teralami adalah akibat perbuatan yang lalai menjaga Allah untuk tetap berada di ruang hati ini. Namun karena perasaan jatuh cinta dan sekalugus patah hati inilah yang membuat saya sedikit lebih memahami hakikat mencintai Allah. Karena untuk memahami cinta seseorang harus pernah merasakan jatuh cinta.

Allah berasal dari bahada Arab yaitu Ilah. Ilah secara bahasa adalah sesuatu yang dicintai, sesuatu yang diutamakan, sesuatu yang dipuja, sesuatu yang ditaati dan ini bisa berarti apa saja. Ia bisa berarti harta benda, jabatan, lawan jenis, anak, ilmu, kekuasaan dan lain-lain selain Allah. Bila Ilah sudah diawali dengan alif lam ma’rifat menjadi Allah, maka akan bermakna khusus dan ini hanya ditujuan untuk Allah Rabbul ‘Alamin. Pencipta semua makhluk dan seluruh alam. Allah yang inilah yang harus dicintai, diutamakan, dipuja dan ditaati selainnya harus dinafikan.

Mengapa sang  Pencipta ingin dikenal dengan sebutan Allah? Karena rasa cintanya kepada seluruh makhluk yang ada di langit dan di bumi dan diantara keduanya. Seluruh makhluk yang penah ada Ia cintai tanpa syarat. Siapa pun dia, darimana asalnya, seperti apun kondisinya. Ia memberikan cintanya berupa rahman (kasih sayang) kepada siapa pun yang dia kehendaki. Pada saat seorang manusia mendekati-Nya sejengkal, maka Ia akan mendekatinya sehasta. Jika seorang manusia mendekati-Nya sehasta, maka Ia akan mendekatinya sedepa. Pada saat seorang manusa mendekati-Nya dengan berjalan, maka Ia akan mendekatinya dengan berlari. Betapa besar rasa cintanya kepada tiap manusia. Kenapa pula banyak manusia yang berpaling dari cintanya?

Inti ajaran Islam terdapat dalam kalimat Tauhid, Laa ilaha Illalah tidak ada Ilah selain Allah. Laa yang berarti tidak, adalah penafian yang berlaku selama-lamanya. Apa yang ditiadakan /dinafikan? Adalah hal-hal selain Allah yang menjadikan seseorang lalai dalam mengingat-Nya. Setelah semuanya hilang hanya satu yang harus ditetapkan Illalah. Hanya Allah satu-satunya. Apapun yang ada di dunia ini hanyalah sarana untuk mendekatkan seseorang kepada Allah, bukan tujuan. Apakah itu harta benda, anak, jabatan, kekuasaan, suami/istri atau apapun juga. Itulah harapan sejati setiap manusia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline