Lihat ke Halaman Asli

Nalar Sangkuriang dan Sunda “Ngarangrangan”

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sunan Gunung Djati-Hampir tidak ada yang tidak mengenal Sangkuriang, sebuah legenda surealis yang melampaui nalar. Yang mistis dan logis berbaur.

Dunia binatang menyatu dengan riwayat manusia. Takdir Tuhan dan rekayasa manusia beririsan.

Cinta menautkan relasi tidak sekadar antara dunia dan kayangan, tetapi juga antara manusia sedarah dan ujung cerita hasrat yang tidak kesampaian sehingga orang menyimpulkan bahwa perkawinan sedarah (inses) tidak mendapatkan tempat dalam tradisi Sunda.

Sangkuriang dengan kesediaannya membendung aliran sungai menjadi danau lengkap dengan perahunya untuk berlayar sebelum fajar datang betul-betul mencerminkan tentang manusia Sunda yang memiliki kepercayaan penuh atas potensi dan otonomi dirinya. Hal itu memberikan pesan moral ihwal keniscayaan optimalisasi energi untuk meraih apa yang diinginkan, apa yang menjadi obsesi dan keinginan hatinya.

Bagi Sangkuriang “sang aku” adalah segalanya. Dia hanya percaya terhadap akal budinya walaupun Dayang Sumbi meyakinkan bahwa dirinya adalah ibu kandungnya, biarpun masyarakat di sekitarnya mengiyakan apa yang dikatakan Dayang Sumbi.

Sangkuriang dengan kehendak bebas dan kekuatan yang bertopang kepada dirinya inilah yang dijadikan Ajip Rosidi sebagai salah satu dari kekayaan batin yang dapat memberikan sedikit gambaran tentang manusia Sunda. Di posisi ini seakan Sangkuriang mendesakkan sebuah kesadaran bahwa manusia Sunda harus memiliki watak ulah kumeok memeh dipacok (jangan menyerah dahulu sebelum dikerjakan dengan optimal), gede wewanen (pemberani).

Kesadaran tuntas terhadap “aing” ini juga yang tempo hari dengan menarik mendapatkan basis tafsir filosofisnya dari Haji Hasan Mustapa. Baginya, kesadaran ketidakpahaman seseorang terhadap ka-aing-an akan menjebak manusia Sunda khususnya terperangkap menjadi manusia anomali. Ini sudah lebih dari cukup untuk menciptakan lingkungan yang sasab sebagaimana tampak dalam pepatah “geura prak agus ngawula ka eling aing, ngawula ka elmu aing, ngawula ka iradat aing, ngawula ka denge aing, ngawula ka awas aing, ngawula ka kalam aing, moal enya ngawula lamun aing teu boga ma’ani”.

Ka-aing-an tampaknya menjadi basis kultural tentang peneguhan Ki Sunda sebagai manusia individual, manusia soliter. Apalagi, ini ditopang oleh mata pencarian masyarakat Sunda yang kebanyakan berhuma. Huma yang selalu dilakukan dengan cara berpindah-pindah mengandaikan kekuatan yang bertopang tidak kepada kejemaahan sebagaimana masyarakat agraris, tetapi kepada otonomi eksistensi diri. Pengembara

Penemuan kedirian Sangkuriang sesungguhnya tidak bersifat ujug-ujug, tetapi merupakan refleksi dari pergumulannya yang panjang dalam mencari jati diri ketika ia mengembara karena diusir Dayang Sumbi setelah membunuh anjing yang notabene ayahnya sendiri.

Pembunuhan terhadap binatang tentu tidak atas nama kebencian, tetapi karena keinginannya untuk tidak mengecewakan ibundanya. Keinginannya adalah untuk mempersembahkan hati binatang ketika binatang buruannya tidak kunjung ditemukan.

Sebuah pengusiran diterimanya dengan ikhlas, bahkan dijadikan sebagai media untuk menempa kedewasaan diri. Hijrah dilakukan dan diniatkan atas nama penghindaran dari tradisi negatif kurungbatokeun. Semangat sama dapat kita temukan dari sosok-sosok abad ke-16 seperti dalam Bujangga Manik, Sanghiyang Siksakandang Karesian, dan Carita Parahiyangan. Selepas pengembaraan dia datang dengan akal budi yang telah tercerahkan, dengan kepercayaan diri yang kukuh. Maka, menjadi tidak aneh, misalnya, ketika dia sangat tidak percaya terhadap alasan Dayang Sumbi atau alasan yang diajukan masyarakat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline