Sunan Gunung Djati-Mantan Menteri Agama, Maftuh Basyuni memberikan statement penting berkait dengan jamaah haji Indonesia. Dalam konferensi persnya, Maftuh mengkritik sejumlah jamaah yang menjadikan haji sebagai hoby. Sikap seperti ini dilansir, Menteri Agama sebagai fakor munculnya persoalan pada jamaah haji Indonesia. Karena itu beliau menyarankan agar haji dilakukan sekali saja. Pernyataan tadi mengingatkan saya pada sebuah riwayat yang menceritakan dua malaikat berdiskusi tentang jamaah haji. “Ada berapa orang jamaah haji yang berangkat tahun ini?”. Tanya salah satu malakait. “Ada dua ratus ribu orang”.
Jawab malaikat satunya lagi.. “Wah..banyak sekali”, komentar malaikat yang bertanya tadi, kagum. Lalu ia melanjutkan pertanyaannya, “berapa orang yang mendapat pahala?”. “Hanya satu orang”, jawab malaikat yang ditanya, “itu pun dia batal pergi ke Arab Saudi, gara-gara ongkosnya dipakai mengobati tetangganya yang miskin dan sakit”.
Musim haji datang lagi. Dalam catatan Data Sistem Komputerisasi Haji Terpadu jumlah jamaah haji per 16 November 2007 mencapai 210.000 orang jamaah. Jumlah ini terbagi pada 193.429 orang untuk kategori Jamaah Haji Biasa, dan 16.293 orang untuk kategori Jamaah Haji Khusus. Pemberangkatan jamaah haji tahun ini akan dilakukan dengan 483 kelompok terbang (kloter) dengan menggunakan dua maskapai penerbangan. Angka 210.000 orang jamaah tentu saja merupakan jumlah yang fantastis. Apalagi ditengah penyelenggaraan haji yang tiap tahunnya tidak sepi dari persoalan. Namun demikian, carut marut persoalan selama ini tidak menyurutkan niat umat Islam Indonesia untuk menunaikan ibadah haji. Buktinya setiap tahun kuota haji Indonesia terus bertambah. Bahkan saking banyaknya peminat, seseorang yang hendak melaksanakan haji harus mendaftar jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Kalau beruntung mereka bisa berangkat tahun berikutnya, atau kadang-kadang harus ekstra sabar karena masuk dalam daftar tunggu (waiting list). Niat berhaji bisa mengalahkan segala hambatan. Guru saya, menceritakan pengalamannya ketika menunaikan haji. Dalam sebuah perjalanan haji, beliau bertemu Pak Engkon, seorang jamaah asal Banten. Pak Engkon berhaji setelah menabung bertahun-tahun lamanya. Maklum dia hanya seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Gol. II C di Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA). Besarnya ongkos naik haji (ONH) tidak menyiutkan nyali Pak Engkon untuk menunaikan rukun Islam yang kelima itu. Demikian kuatnya niat tersebut, Pak Engkon tega “berbohong” kepada istrinya. Setiap bulan, uang gajian yang diterimanya tidak ia setorkan semua kepada istrinya, melainkan di tabung dengan menaruhnya diatas para (plafon) rumah. Setiap tahunnya, ada lebih dari dua ratus ribu jamaah haji dari Indonesia. Diantara ribuan jamaah yang berangkat, ratusan bahkan ribuan orang yang berjuang seperti Pak Engkon. Mereka menabung bertahun-tahun untuk membayar ONH yang tiap tahunnya terus melambung. Para jamaah haji yang datang dari desa-desa, rela menjual sawah, kebun, kerbau atau mengutang dulu untuk membayar ONH. Keyakinan akan mendapat pahala dengan menunaikan haji seakan menggeser persoalan-persoalan kehidupan lain, seperti biaya sekolah anaknya. Padahal seandainya dana ONH tersebut digunakan bagi sekolah anaknya, barangkali akan terbuka masa depan cerah bagi anaknya. Atau mungkin akan ada banyak persoalan kemasyarakatan seperti pengangguran, kemiskinan, kelaparan di sekitarnya yang tertanggulangi. Pemahaman Ajaran Agama Animo besar masyarakat untuk berhaji tidak lepas dari paham kegamaan masyarakat selama ini. Menunaikan rukun Islam ke lima, menjadi alasan utama seorang muslim melaksanakan ibadah haji. Bagi sebagian umat muslim di tanah air rasanya tidak sempurna ke-Islamannya jika belum melaksanakan ritual yang dicontohkan Nabi Ibrahim ini. Persepsi demikian semakin dikuatkan oleh sikap masyarakat yang menaruh status terhormat bagi siapa saja yang pernah naik haji. Dalam hubungan sosial masyarakat Indonesia orang yang telah menunaikan ibadah haji berhak menyandang gelar Haji (disingkat H) di depan namanya. Apalagi jika sanggup naik haji lebih dari sekali, mungkin huruf H nya bertambah banyak. Fenomena yang mungkin tidak ditemui di negara-negara muslim lainnya. Identitas Haji (disingkat H), bagi sebagian masyarakat kita tidak hanya menyimbolkan kelas ekonomi, tapi sekaligus mengisyaratkan ketaatan beragama, dan kehormatan. Atas dasar privilege tersebut, seseorang sanggup menangguhkan, bahkan mengorbankan kepentingan yang tidak kalah nilai ibadahnya, hanya demi menunaikan ibadah haji. Kesalehan Sosial Antusiasme umat Islam untuk naik haji bisa jadi merupakan indikator religiusitas masyarakat. Namun hal tersebut menjadi ironis ditengah bangsa yang kian hari kian banyak yang kelaparan, bencana, pengangguran, kriminalitas serta kemiskinan dimana-mana. Ibadah haji, dalam konteks seperti ini alih-alih membawa berkah sosial, malah berpotensi menambah persoalan. Tentu bukan hajinya yang keliru, namun persepsi orang terhadap haji yang harus ditafsir ulang. Haji sebagai ibadah pasti baik. Tetapi ada persoalan yang jauh lebih mendesak (urgent) dan krusial yang harus diselesaikan masyarakat di negeri ini. Bagaimanapun naik haji bukan hanya ibadah yang berdimensi individual sebagai pemenuhan kewajiban seorang makhluk terhadap Tuhan-nya. Tetapi juga berfungsi sebagai ibadah yang memiliki manfaat sosial kemasyarakatan.Akan menjadi ironis seandainya di tengah banyaknya orang naik haji, persoalan kemiskinan, kriminalitas, pengangguran, dan korupsi justru semakin tak terkendali. Persoalan ini merupakan agenda serius yang dihadapi umat Islam sebagai mayoritas penduduk negeri ini. Terlebih lagi bagi kaum agamawan (para ulama, cendikiawan, kiyai) untuk memberikan tafsiran yang lebih kontekstual dan proporsional dengan kondisi sosial masyarakat. Kewajiban haji jangan lantas mengabaikan persoalan-persoalan riil di depan mata menjadi bukan ibadah dan tidak penting. Dialog malaikat diatas mengisyaratkan siapa yang berhak menyandang predikat haji mabrur (haji yang diterima). Kepedulian pada persoalan riil di masyarakat pada akhirnya menjadi ukuran. Nilai ke-mabrur-an (diterimanya haji) tidak dicapai dengan melempari tiang pada Jumrah sebagai simbol setan, sembari membiarkan setan-setan nyata di rumah, di kampung dan di tanah airnya sendiri terus berkeliaran. Nilai Ibadah haji bisa diraih tidak mesti dengan berangkat ke Arab Saudi. Persoalan masyarakat, bangsa dan keluarga adalah ladang bagi mereka yang mampu berempati dan berbuat untuk memperbaikinya. Pernyataan ini tentu saja bukan berarti naik haji tidak berpahala, namun alangkah bijaknya jika niat berhaji tersebut dilaksanakan dalam kesadaran pentingnya berempati pada persoalan sosial yang mendera masyarakat, bukan ritual semata apalagi untuk meraih gengsi. [DEDE SYARIF, Peneliti pada Lembaga Transformasi Masyarakat (Letsform) Muhammadiyah, Bandung]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H