Lihat ke Halaman Asli

“Ada Uang Abang Sayang, Gak Ada Uang Abang Saya Tendang”

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sunan Gunung Djati-“Ada uang abang sayang, gak ada uang abang saya tendang”, perkataan ini sering saya dengar baik di sinetron maupun kehidupan keseharian.

Perkataan yang menjadi stereotype seorang perempuan yang orientasi hidupnya hanya untuk uang. Sterotype ini begitu melekat pada perempuan. Seolah untuk tujuan inilah perempuan hadir dimuka bumi.

Tak segan-segan perempuan menggadaikan hak dan harga dirinya hanya untuk mendapatkan uang. Kenapa pemahaman seperti ini yang muncul? Benarkah stereotype tersebut hanya bisa dialamatkan pada perempuan?

Sebelum mengungkap kenapa pelebelan negative ini ditujukan pada perempuan, saya teringat pada kondisi perempuan dalam sejarah yang selalu menjadi property dan didominasi oleh laki-laki. Seperti dijelaskan oleh Ashgar Ali Engineer (1994:55):

Secara historis telah terjadi dominasi laki-laki dalam semua masyarakat di sepanjang zaman, kecuali dalam masyarakat-masyarakat matriakhal, yang jumlahnya tidak seberapa. Perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Dari sini muncullah doktrin ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, karena dianggap: tidak setara dengan laki-laki. Laki-laki harus memiliki dan mendominasi perempuan, menjadi pemimpinnya dan menentukan masa depannya, dengan bertindak sebagai ayah, saudara laki-laki ataupun suami. Alasannya untuk kepentingannyalah dia harus tunduk kepada jenis kelamin yang lebih unggul. Dengan dibatasi di rumah dan di dapur, dia dianggap tidak mampu mengambil keputusan di luar wilayahnya.

Dominasi  peran kaum laki-laki itu menurut Ashgar dibenarkan oleh norma-norma kitab suci yang ditafsirkan oleh kaum laki-laki untuk mengekalkan dominasi mereka. Secara umum semua agama menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah dari kaum laki-laki (Muhammad Asadi, 2002: 7-34), termasuk di antaranya Islam. Meski di awal kedatangannya Islam dianggap sebagai kabar gembira karena merubah pandangan terhadap perempuan. (Muhammad Anis Qasim Ja’far, 1998:16-17). Namun selanjutnya posisi perempuan hampir tidak berubah bahkan semakin terpuruk.

Dominasi ini mengakibatkan munculnya pemahaman bahwa laki-laki menjadi sumber pengetahuan (the knowers). Pemahaman tentang perempuan baik diri maupun lingkungannya juga berasal dari pandangan laki-laki.  Akibatnya pengalaman dan pengetahuan perempuan ditiadakan. Dari sinilah menurut saya pelebelan negative bahwa perempuan adalah makhluk yang matrealis muncul.

Ada hal yang membuat saya lebih meyakini bahwa pelabelan negative ini muncul dari kaum laki-laki yang memang ingin mengekalkan dominasi dan membuat perempuan tergantung kepadanya. Ini tergambar dalam syair lagu Indonesia tempo dulu yaitu:

Wanita d jajah pria sejak dulu.

Dijadikan perhiasan sangkar madu.

Namun ada kala pria tak berdaya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline