Lihat ke Halaman Asli

Engku Puteri: Perempuan Istimewa Penjaga Harga Diri Bangsa

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Diberi mahar berupa sebuah pulau? Perempuan mana yang bakalan nolak. Tidak hanya sekedar pulau tak berpenghuni, melainkan sebuah pulau pusat pemerintahan. Pulau indah berukuran kurang lebih hampir 3,5 km2. Bukan sekedar formalitas...hadiah ini juga disertai kewenangan untuk ikut menentukan lajunya sebuah pemerintahan. Woow keren banget saya pikir. Siapa sih perempuan ini? kenapa dia begitu istimewa? Apakah dia cuma perempuan matre yang sekedar jadi hiasan suaminya? Atau dia memang perempuan istimewa yang jangankan sebuah pulau, bahkan dunia beserta isinya sanggup dihadiahkan suaminya tercinta kepadanya.

Engku Putri demikianlah nama perempuan ini. Nama ini pertama kali saya lihat tertulis pada sebuah papan rumah singgah tempat perempuan dan anak yang menjadi korban di provinsi kepulauan Riau. Kunjungan kerja P2TP2A Jawa Barat untuk menindaklanjuti kerjasama penanganan perdagangan orang terutama perempuan dan anak asal Jawa Barat yang banyak terdampar di provinsi Kepulauan Riau mempertemukan saya dengan sosok perempuan hebat ini. Saat saya bertanya siapa sebetulnya dia? Ketua tim kunjungan kerja mengatakan dia akan membawa kami ke sebuah pulau indah yang menjadi saksi sejarah bagaimana peranan seorang Engku puteri.

Pulau ini dinamakan pulau penyengat. Pulau eksotis yang menawarkan wisata sejarah dan spiritual yang memukau. Pulau ini terletak di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Pulau Penyengat sejak lama menarik minat para turis asing, utamanya yang tengah melancong di Singapura. Pulau mungil ini memang tak jauh dari Singapura. Dengan kapal feri, Pulau Penyengat bisa dicapai dalam waktu dua jam dari Negeri Singa tersebut. Karena itulah, banyak turis asing di Singapura yang menyempatkan diri untuk menyinggahi Pulau Penyengat. Di mata mereka, Pulau Penyengat memiliki pesona tersendiri.

Berbeda dengan Singapura yang gemerlap dan sarat dengan simbol kehidupan modern, Pulau Penyengat menampilkan diri sebagai tempat yang sangat alami dan bersahaja. Semua serba apa adanya. Namun, justru kebersahajaan inilah yang membuat Pulau Penyengat memiliki daya tarik begitu kuat.

Selain bertetangga dengan Singapura, pulau ini juga relatif dekat dengan Pulau Bintan. Untuk sampai di Pulau Bintan dari Pulau Batam dibutuhkan waktu satu sekitar jam dengan kapal feri. Dari Pulau Bintan, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang kapal kecil bermotor yang disebut pompong yang cukup untuk 15 orang. Harga untuk sampai ke pulau penyengat 5000 perorang, atau sekitar 75,000 bila menyewa satu pompong. Dengan pompong inilah tim kami menempuh perjalanan sekitar 20 menit untuk sampai ke pulai penyengat.

Sekitar 50 meter menjelang mendarat di Pulau Penyengat, udara yang begitu segar menerobos hidung. Hamparan rumah penduduk yang berbentuk panggung mulai terlihat. Di belakangnya, menghijau rerimbunan pohon. Melihat semua ini, siapapun ingin segera menjejakkan kaki di pulau itu.Terlebih saya yang sudah penasaran dengan sosok Engku Puteri. Dari kejauhan bangunan berwarna kuning indah tampak begitu mencolok. Ternyata bangunan tersebut adalah mesjid pulau penyengat yang menjadi landmark pulau ini.

Apa istimewanya masjid ini? Berbeda dengan bangunan masa kini, masjid ini dibangun dengan menggunakan campuran putih telur untuk memperkuat dinding kubah, menara, dan bagian lainnya. Konon, dibutuhkan telur berkapal-kapal untuk mendirikan masjid ini. Sedangkan kuning telurnya dipakai untuk mewarnai dinding dan kubah masjid. Masjid yang berdiri pada 1 Syawal 1249 Hijriah atau pada tahun 1832 Masehi ini didirikan oleh Yang Dipertuan Muda VII, Raja Abdul Rahman. Masjid ini memiliki 17 buah kubah. Ini sesuai dengan jumlah rakaat shalat wajib dalam satu hari.

Di mesjid ini saya sempat melaksanakan sholat duhur disatukan dengan ashar sambil menikmati indahnya arsitektur bangunan. Saya berfikir berapa banyak telur yang dihabiskan untuk membangun mesjid ini? Hebat sekali raja yang berkuasa saat itu. Tentu pengaruh seorang pemimpin yang sangat kuatlah yang bisa mewujudkan bangunan indah ini.

Sebelum mengunjungi masjid untuk shalat, saya dan rombongan berkeliling pulau dengan menggunakan bentor (beca motor). Dengan bentor inilah kepenasaranan saya terhadap Engku Putri bisa terjawab. Engku Puteri bernama asli Raja Hamidah. Beliau anak pertama Raja Haji, Yang dipertuan Muda Lingga IV. Ibunya adalah Raja Perak, puteri Daeng Kamboja, Yang Dipertuan Muda Riau Lingga III. Diperkirakan Raja Hamidah lahir sekitar tahun 1774.

Raja Hamidah sebagai seorang puteri Panglima Perang, Kelana Jaya Putera, Yang Dipertuan Muda, dibesarkan dengan tradisi istana. Tradisi kebangsawanan, tradisi perang dan militerisasi. Tetapi ayahnya Raja Haji merupakan seseorang yang taat beragama, menghargai para ulama. Beliaulah yang mendatangkan banyak guru dan ulama yang mengajarkan ilmu baik ilmu agama Islam maupun pengetahuan lainnya. Raja Hamidah dibesarkan dalam tradisi adat yang kuat.Baik tradisi adat melayu melalui ibunya, maupun dari para pemuka adat dari garis Bugis.

Mencari deskripsi tentang sosok Raja Hamidah sebagai seorang perempuan menurut Rida K Liamsi dalam Seminar Bersempena Peringatan 200 tahun Raja Ali Haji yang diselenggarakanoleh Dunia Melayu Dunia Islam (DMDI) dan Pemerintah Kepulauan Riau 29 November 2008 merupakan hal yang sulit. Tapi dari berbagai literatur dan keterangan yang ia dapatkan, Raja Hamidah merupakan seorang perempuan yang tidak hanya rupawan, melainkan juga orang yang teguh, tegar, cerdas dan karismatik sebagai sebuah bentukan dari tradisi Melayu yang gemulai dan Bugis yang tegas.

Raja Hamidah menikah di usia yang matang yaitu 29 tahun. Tentu pada usia ini seorang perempuan sudah memiliki pengetahuan yang cukup dan mental yang kuat dalam memasuki pernikahan yang menempatkannya sebagai permaisuri kerajaan. Dia begitu setia menemani Sultan Mahmud III sampai suaminya menghembuskan nafasnya. Perannya yang diembannya tidak hanya sebagai permaisuri tapi juga sebagai penasihat (bukan pembisik loh...) pemegang teraju adat dan pemegang Regalia Kerajaan sebagai sarat syah seseorang dikukuhkan sebagai Raja.

Setelah kematian suaminya inilah muncul konflik yang memecah belah kerajaan Riau Lingga. Dari pernikahannya Raja Hamidah hanya memiliki seorang anak perempuan yang tidak panjang umur. Sehingga dia menyayangi anak tirinya seperti anak kandungnya sendiri. Salah satu yang disayanginya adalah Tengku Husein. Tengku Husein sebagai anak sulung dari suaminya diharapkan Raja Hamidah menjadi pengganti suaminya. Namun abangnya Raja Hamidah yaitu Raja Djafaar malah mengangkat Tengku Abdurrahman (Raja Jumat atau Si Komeng) sebagai raja.

Perbuatan Raja Djafaar ini memancing kemarahan Raja Hamidah. Ia kemudian membawa Regalia kerajaan ke Pulau penyengat dan membiarkan penobatan Raja baru tersebut tanpa memakai Regalia. Sehingga masyarakat menyangsikan keabsahan Raja baru ini. Perseteruan ini terus berkepanjangan karena ternyata Tengku Husein sebagai anak sulung merasa lebih berhak atas kepemimpinan dan dia melibatkan pihak asing dalam hal ini Inggris. Inggris menjanjikan Tengku Husein sebagai Sultan Singapura dan memberikan 50,000 ringgit agar diberikan kepada Raja Hamidah untuk menyerahkan Regalia kerajaan. Raja Hamidah tidak bergeming. Dia tidak menyerahkan Regalian justru merasa sangat kecewa dengan perilaku anak tiri yang disayanginya.

Raja baru yang dinobatkan yaitu Tengku Abdurrahman melibatkan Belanda sebagai sekutu untuk menyerang saudaranya sendiri. Pecahlah perang keluarga yang mengakibatkan runtuhnya Imperium Melayu. Para penjajah melenggang bebas masuk ke negri tercinta ini saat tidak ada lagi kekuatan lokal yang mampu melawan.

Peran Raja Hamidah sebagai seorang perempuan yang kuat memang tidak dilakukan dengan senjata. Tapi dia melakukan perlawanan dengan mengoptimalkan posisi strategisnya untuk harga diri bangsa. Perlawanan dengan tetap memegang budaya melayu dan bugis terlihat dari rangkaian kata-kata yang sangat marah pada saat anak-anak tirinya bersekutu dengan Inggirs dan Belanda. Regalia yang kukuh dia pertahankan sampai menghembuskan nafas merupakan sebuah buktinya.

Keteguhan dan kekuatan hati Engku Putribisa menjadi tauladan untuk perempuan di masa kini yang tidak mudah dibeli dengan uang dan ketenaran. Karena itu tepat sekali saya pikir rumah singgah itu dinamai dengan namanya. Semoga semangat Engku Puteri untuk tetap memegang budaya dan harga diri bangsa mengaliri jiwa kami yang melakukan perjalanan demi membebaskan perempuan dan anak dari perdagangan. Bergandeng tangan bersama P2TP2A seluruh Indonesia juga gugus tugas serta masyarakat pada umumnya untuk membebaskan perempuan dan anak dari kekerasan.

Catatan Perjalanan sharing pengalaman dengan P2TP2A Kepulauan Riau dan wisata sejarah ke pulau penyengat 16-17 September 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline