Sebut saja Akbar. Seorang anak Sekolah Dasar Negeri (SDN) yang duduk di bangku kelas 6 (enam). Tubuhnya gempal karena ia sangat doyan makan. Apa pun yang disediakan akan habis dilahapnya. Bagi sebagian orang tua terutama ibu, melihat anaknya doyan makan tanpa pilih-pilih jenis makanan, tentu merupakan sebuah kebahagiaan tersendiri.
Setiap berangkat sekolah Akbar selalu dihidangkan sarapan pagi. Ia pun kerap diberi bekal uang saku untuk jajan, kadang dibawakan pula bekal ransum untuk makan saat istirahat. Akbar tidak merasa kekurangan untuk kebutuhan makan dan sekolahnya. Meskipun tak tergolong anak dari keluarga mampu, kebutuhan Akbar masih bisa tercukupi.
Tetapi itu dulu. Sekitar setahun yang lalu sampai dirinya duduk di bangku kelas 5 (lima) SD ketika ayahnya masih mempunyai pekerjaan sebagai seorang buruh. Saat ibunya belum melahirkan seorang adik, yang justru di awal-awal kehamilan ibunya, ayah Akbar berhenti bekerja karena terkena PHK.
Kini keseharian Akbar tak sama lagi. Dia harus berbagi kebutuhan dengan adiknya yang masih bayi. Sementara ayah Akbar masih belum mendapatkan pekerjaan. Mereka juga tak punya tabungan atau simpanan. Kebutuhan belanja keseharian mereka terpaksa dicukup-cukupi dengan cara jual barang yang masih ada, pinjam atau berhutang dan sesekali ayah Akbar ikut kerja serabutan jika ada teman atau saudara yang mengajak.
Akbar mulai harus rela berbagi. Bahkan bukan berbagi dalam serba kecukupan, melainkan serba kekurangan. Sejauh itu, mereka juga tidak atau bukan keluarga penerima bantuan dana sosial pemerintah baik Program Keluarga Harapan (PKH) ibu hamil, anak balita, anak sekolah, KJP, program prakerja, BLT atau lainnya.
Sekolah Akbar pun terkendala. Ia mulai jarang berangkat ke sekolah. Kadang ia tak berangkat hanya karena tidak punya uang saku atau bekal makan. Awalnya mereka punya harapan saat ayah Akbar diterima kerja sebagai tenaga supir di sebuah keluarga. Namun baru berjalan satu bulan harapan itu kembali pupus ketika ayah Akbar terserang stroke pada suatu pagi. Kondisi perekonomian mereka menjadi jauh lebih buruk.
Akbar memang bukan tipe anak pejuang, yang tanpa sarapan, makan atau bekal uang, semangat belajar dan sekolahnya tetap kuat. Terlebih lingkungan dan didikan keluarganya tidak mengarahkan Akbar untuk mempunyai motivasi tinggi soal masa depan. Tetapi setiap anak tentu saja mempunyai karakteristik berbeda. Apalagi ia memiliki kebiasaan makan yang tak biasa. Tanpa makan setiap orang tak mungkin punya energi. Begitu pun Akbar. Bagi Akbar sekarang-sekarang ini, malaikat adalah orang yang bisa memberinya minimal uang Rp 10 ribu minimal sekali sehari.
Lain Akbar dengan problematika keluarganya lain pula Ramlan seorang karyawan swasta yang sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak berusia balita. Tapi Ramlan masih beruntung dan patut bersyukur sebab dirinya masih punya pekerjaan dengan penghasilan bulanan.
Walaupun sesekali penghasilan bulanannya tak mencukupi untuk pengeluaran satu bulan, dan terkadang harus lebih besar pasak daripada tiang jika ada pengeluaran yang tak terduga di luar alokasi dana pengeluaran bulanan. Di titik inilah seharusnya ukuran sebuah keluarga mampu atau tak mampu dapat diukur. Sehingga penerima program bantuan bisa bersifat fluktuatif.
Tetapi Ramlan bukan satu-satunya keluarga yang hidup serba berkecukupan, yang akan kekurangan saat ada pengeluaran tak terduga. Masih ada ribuan Ramlan lainnya bahkan yang jauh di bawah kondisi Ramlan, yang masih berharap pada pertolongan atau bantuan meski besarannya hanya 10 ribu rupiah ketika kondisi ekonomi terdesak.