Bagi logika, pasti tak habis pikir saat menyaksikan sebuah tayangan video di salah satu kanal YouTube, yang isinya suatu metode pengobatan, pengasihan, pembuka pintu rezeki hingga jodoh dengan cara tidak biasa; di luar nalar. Bagaimana mungkin akal sehat bisa menerima cara menghentikan kenakalan anak dan suka melawan orang tua hanya dengan menggunakan air rendaman celana dalam (CD) yang kemudian digunakan untuk memasak nasi?
Selain itu, beberapa ritual lainnya seperti cara meningkatkan fokus pada anak perempuan yang sulit menangkap pelajaran adalah dengan cara menyentuh kemaluan sang anak lalu diletakkan ke dahi anak tersebut berulang kali.
Belum lagi penyembuhan dengan mengunakan centong nasi kayu, penarik rezeki dengan menyentuh alat kelamin lalu menempelkannya pada barang atau benda yang diinginkan. Semua ritual tersebut bagi kaum rasional tentu membuat terperangah dan sama sekali tidak masuk akal.
Menyusul kemudian berita kontroversi tentang seorang dai yang menyatakan bisa berkomunikasi dengan semut, cacing dan jin hingga malaikat. Meskipun belakangan muncul tayangan klarifikasi dan permintaan maaf dari yang bersangkutan dan wakilnya, masyarakat rasional menilai bahwa ternyata masih banyak orang berwatak lemah, bermental inferior dan gampang dibohongi oleh tokoh pembawa, perantara atau pemuka agama.
Di lain waktu, timbul polemik nasab yang belakangan terjadi dan pada akhirnya mengungkapkan cerita tentang bagaimana mentalitas inferior, watak lemah dan feodalisme agama kembali mengemuka.
Bagaimana kemudian orang-orang bisa teramat mudah patuh dan tunduk pada pembawa, perantara atau pemuka agama, selayaknya sebagian besar orang yang memuja habib di masa kini. Bahkan dalam konteks kepatuhan yang dinilai tidak masuk akal bagi kaum rasional.
Sampai terdapat satu narasi kalimat yang pada satu titik cukup membuat nalar kritis setiap orang yang berpikir rasional seperti dihantam palu godam. Narasi kalimat itu berbunyi "Seorang habib bodoh lebih mulia dari 70 kyai". Sebuah narasi yang memberi kesan hendak membangun kultus bagi keturunan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam.
Sehingga jalan pikiran masuk akal murni yang bagiannya masih melekat pada orang-orang beriman, setelah dipengaruhi oleh mental superioritas dalam feodalisme agama, tidak lagi menyisakan sedikit pun nalar kritis bagi pengikut yang pembawa, perantara atau pemukanya ajarannya menebarkan narasi tersebut.
Maka alih-alih menyadari bahwa pikiran rasionalnya telah mati dan beralih pada posisi kesadaran magis, logika imannya pun telah beralih menjadi logika yang fanatik.
Berbeda dari logika kultus yang berarti jalan pikiran yang masuk akal hanya jika mengarah pada penghormatan atau kesukaan berlebihan seorang fan, fandom atau para pemuja atas tokoh idola atau pada sesuatu yang diyakininya saja, logika fanatik lebih cenderung menguat pada kepercayaan atau keyakinan suatu ajaran terutama ketika ajarannya dipengaruhi oleh pembawa, perantara atau pemuka ajaran tersebut.