Masa Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA), Keceriaan Masa Kecil dalam Kesemrawutan Gerbong Kereta
Tahun 1985. Usia saya baru 9 tahun kala itu. Jakarta-Cirebon kami tempuh lewat jalur lintas kereta api. Tidak banyak yang saya ingat ketika perjalanan bersama keluarga dalam rangka memenuhi kepentingan masa depan saya; khitan di kampung halaman, di Lemah Abang, Cirebon, kecuali rasa cemas dan takut.
Maklum, narasi dan sugesti yang dibangun pada anak kecil sejak zaman purbakala, kalau ujung alat kelamin dipotong rasanya sakit. Dan ternyata memang sakit. Tapi sedekat yang saya ingat, ayah dan ibu memilih keberangkatan menggunakan moda transportasi kereta api lantaran alasan efisiensi dan efektifitas.
Karena selain dikenal sebagai transportasi merakyat lewat biayanya yang terjangkau, bagi ayah dan ibu, pada waktu-waktu tertentu kereta api lintas daerah jauh lebih bisa diandalkan dan kerap sukses memberikan keamanan serta kenyamanan bagi penumpang. Terutama buat keluarganya ketimbang menggunakan transportasi darat lainnya.
Soal kecepatan jangan ditanya, dibanding moda transportasi darat yang lain, waktu tempuh yang bisa dicapai dan keamanan yang dijanjikan oleh kereta api tetap lebih bisa menjamin.
Perkara kenyamanan tunggu dulu! Pada masa itu tak ada jaminan lantai gerbong bersih dari sampah, toilet tidak jorok dengan air yang selalu tersedia, selasar gerbong bebas dari lalu lalang pedagang asongan, tak ada kebisingan dan dipasang pendingin di tiap gerbong. Jangan pernah berharap!
Tentang kecepatan, walaupun gerak moda transportasi kereta api yang berada di bawah naungan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada masa itu terhitung cepat, jika dibandingkan dengan kereta api masa sekarang ibarat kecepatan keledai melawan kuda.
Sementara fasilitas dan layanan yang diberikan oleh PJKA juga masih sangat jauh dari harapan. Terlebih di momen-momen tertentu, seperti jam keberangkatan, jam-jam sibuk dan masa-masa libur bersama, hari raya atau hari libur lainnya, moda transportasi kereta api semakin memperlihatkan kelemahannya.
Sekira empat tahun kemudian pada 1989. Saya terima tantangan seorang teman penjual es mambo untuk ikut berjualan di gerbong kereta api lintas Jakarta Kota-Tangerang. Dari Stasiun Pesing atau lebih dikenal 'Pasar Ayam', yang jaraknya kurang lebih satu kilometer dari tempat tinggal kami, saya dan tiga orang teman tiba dijelang siang.
Kami tidak membeli tiket seperti umumnya penumpang kereta api. Karenanya kami tidak membekal lembaran karcis seukuran kartu domino yang berfungsi sebagai bukti bayar di dalam gerbong, yang akan diperiksa dan dilubangi oleh petugas karcis.