Lihat ke Halaman Asli

Sunan Amiruddin D Falah

TERVERIFIKASI

Staf Administrasi

Berpikir Kriminal

Diperbarui: 8 Agustus 2024   19:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Tangkapan layar YouTube/Kompas.com

Jika suatu waktu Anda mengunjungi museum dan di dalam museum terpajang benda-benda pusaka atau berbagai benda purbakala warisan budaya, yang tak sekadar memiliki nilai materi, melainkan juga nilai sejarah, apa yang terlintas di benak Anda ketika melihatnya? 

Estetika, bahan dan proses pembuatan, nilai seni dan histori dalam setiap benda-benda pusaka yang terpajang di museum tentunya membuat setiap orang yang melihatnya kagum, takjub, terpesona, dan bisa mengembalikan memori ke masa silam, mengingatkan otak pada zaman kerajaan atau perjuangan para tokoh dan pahlawan serta berbagai macam pikiran lainnya. 

Tetapi ada satu pikiran yang mungkin tidak pernah terlintas di benak siapa pun ketika mengunjungi museum. Pikiran tentang nilai jual dari benda-benda pusaka itu yang pasti berharga sangat mahal. Kemudian berpikir tentang kemudahan akses, bagaimana menembus sistem keamanan museum dan cara mengambil benda-benda pusaka di dalamnya tanpa terlacak, untuk dimiliki secara pribadi atau dijual demi keuntungan finansial. Iya. Tepat! Inilah yang disebut 'berpikir kriminal'. 

Dari sekian banyak pikiran yang ada di benak manusia, berpikir kriminal merupakan cara menggunakan akal budi sebagai alat dalam mempertimbangkan dan memutuskan suatu perbuatan yang akan berlawanan dengan norma kebaikan, keamanan, ketentraman, kedamaian dan hukum yang berlaku. Pertanyaannya, mengapa manusia bisa berpikir kriminal? 

Pada salah satu program acara berita kriminal televisi swasta RCTI di tahun 2009-an, ada sesi kemunculan satu sosok pembawa acara yang selalu memberi pesan dari balik jeruji besi. Sosok laki-laki bertopeng putih yang menutupi setengah wajah, dengan bagian kepala yang senantiasa dibalut potongan kain sejenis masker buff

Sosok yang kemudian dikenal dengan sebutan "Bang Napi" dan lewat jargon "kejahatan tidak terjadi karena ada niat pelakunya tapi juga karena ada kesempatan, waspadalah! waspadalah!", berpesan sekaligus memberikan pemahaman bahwa kejahatan atau kriminal bisa terjadi karena ada niat atau ada kesempatan. Lalu untuk mengetahui mengapa niat atau kesempatan itu selanjutnya direalisasikan adalah karena adanya motif. Di titik inilah 'berpikir kriminal' dapat tumbuh dan berkembang di benak manusia.

Di sekira tahun 2020, di siang yang terik ketika sedang bersibuk diri dalam work form home (WFH) di depan layar monitor laptop di ruang tengah rumah, tetiba ada informasi bahwa motor keponakan saya, yang diparkir di depan halaman rumah hilang tanpa jejak. Motor berjenis vario 125 berwarna hitam itu dinyatakan dicuri orang. Berdasarkan rekam jejak pencurian kendaraan bermotor di lingkungan tempat tinggal saya, yang ternyata cukup sering terjadi, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pencurian motor didasari oleh adanya niat. 

Namun, setelah saya menerima informasi lebih lengkap terkait hilangnya motor tersebut, faktanya untuk kasus yang satu ini bisa disimpulkan bahwa pencurian yang terjadi adalah karena adanya kesempatan. Pasalnya saat motor diparkir, keponakan saya lupa mencabut kunci motor yang masih tergantung di kontaknya. Sehingga bagi orang yang awalnya tidak berniat untuk mencuri sekalipun, bisa tergoda dan berubah pikiran. Sementara motifnya, tentu saja hanya dapat menduga-duga karena pencurinya tidak pernah tertangkap.    

Berpikir kriminal cenderung akan direalisasikan oleh orang-orang yang mempunyai motif kuat untuk melakukannya. Yakni motif yang mendorong para pelaku kriminal merealisasikan pikiran kriminalnya, yang antara lain terdiri dari kebutuhan ekonomi, balas dendam, sakit hati, ingin punya uang untuk foya-foya atau bersenang-senang, gangguan mental atau mempunyai kelainan jiwa dan motif lainnya.  

Sehubungan dengan kriminal di museum, ada satu kasus perampokan museum yang pernah menghebohkan Indonesia, yang berangkat dari motif kebutuhan ekonomi dan kecenderungan latar belakang rasa sakit hati dan kecewa terhadap negara serta cara yang sama oleh pelakunya ketika ikut membantu dalam mencari dana revolusi, yang juga dilakukan dengan merampok. Satu peristiwa perampokan di Museum Nasional atau Museum Gajah yang menghebohkan bangsa Indonesia, dan terjadi pada 31 Mei 1961. Dilakukan oleh Kusni Kasdut bersama temannya, Herman, Budi dan Sumali. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline