Lihat ke Halaman Asli

Sunan Amiruddin D Falah

TERVERIFIKASI

Staf Administrasi

Pengaruh Mukbang terhadap Pola Makan Generasi Topping dan Bahayanya

Diperbarui: 1 Agustus 2024   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pan Xiaoting, streamer mukbang. Sumber gambar (KBIZoom)/Kompas.com

Ini era digital Bro n Sis. Gaya hidup harus update. Jangan sampai tertinggal tren media sosial. Termasuk perihal makan, yang bisa menjadi butus. Nggak mau kan dibilang status media sosialmu mati gaya. Biar cuma ikut-ikutan alias fomo, yang penting pasang status kan Bro n Sis. Tak peduli walau tubuh sudah kecanduan gula garam karena ikutan tren makanan versi mukbang. Jaga pola makanmu! Awasi media sosial keluargamu dari pengaruh mukbang! Cuaks!

Mukbang atau mokbang berasal dari bahasa Korea (/mkb, mkb/; bahasa Korea: , meokbang, pengucapan Korea: [mk.pa]) adalah penyiaran audiovisual daring di mana seorang pemandu acara (pemokbang) memakan sejumlah besar makanan sambil berinteraksi dengan audiens atau merekam aktivitas tersebut. 

Tren mukbang di platfrom media sosial dan berbagai media sosial pada perkembangannya cenderung menerjemahkan mukbang ke dalam praktik makan besar atau makan sebanyak-banyaknya. Para kreator konten, food vlogger, streamer mukbang pada umumnya menyajikan konten melahap makanan atau minuman dalam porsi, waktu dan/atau menu yang tidak normal.

Parahnya, jenis menu makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi dengan cara brutal melalui mukbang lebih pada jenis makanan dan/atau minuman tidak sehat seperti makanan junk food, makanan dengan kandungan minyak, gula, garam, kalori, karbohidrat, cabe, alkohol, kafein dan bahan berbahaya lainnya secara berlebihan bahkan hingga menu ekstrem.

Untuk sejumlah menu mukbang, terutama menu ekstrem seperti makan daging hewan atau tumbuhan mentah, hewan hidup bahkan berbagai jenis hewan menjijikan, beracun atau berbahaya dan mukbang dengan porsi makan besar atau banyak, tentu saja jarang diikuti oleh generasi topping. 

Tetapi untuk jenis mukbang semacam menu junk food, dan  makanan dengan kandungan minyak, gula, garam, kalori, karbohidrat, cabe, alkohol, kafein dan bahan berbahaya lainnya, yang menarik untuk dicicipi apalagi jika konteks menu makan atau minuman mukbangnya termasuk yang viral. Maka sudah barang tentu perilaku fomo akan menjadikan menu makan atau minum mukbang viral itu wajib dicoba bahkan dijadikan menu makan atau minum sehari-hari. 

Di tahap itulah terindikasi adanya pengaruh mukbang atau konten-konten kuliner terhadap perubahan perilaku pola makan generasi topping (generasi builders, baby boomer, X, Y atau Milenial, Z dan Alpha) yang aktif dalam interaksi sosial digital. Indikasi tersebut dapat dilihat dari perubahan perilaku mulai dari cara, waktu, lokasi sampai menu makan atau minum sebagai berikut:

1. Cara makan atau minum: di generasi topping, barangkali kita tidak akan pernah lagi melihat keakraban alami ketika sebuah keluarga sarapan atau makan bersama di satu meja. Bersyukur dan berdoa atas hidangan yang tersaji di pagi atau hari itu dengan segenap etikanya. Di generasi topping perilaku cara makan bersama umumnya kini dimulai dengan masing-masing anggota keluarga sibuk dengan gawai masing-masing. Keluarga yang begitu dekat menjadi jauh, sebaliknya, orang-orang yang jauh di negeri antah berantah menjadi begitu dekat. 

Ujungnya, kebersamaan yang tercipta bukan lagi tentang esensi keakraban sebuah keluarga, melainkan kebutuhan foto-foto atau membuat video makan untuk dijadikan konten lalu diunggah ke media sosial. Kenikmatan makan bukan lagi soal rasa atau selera individu tapi tentang kebutuhan status sosial. Bukan lagi soal menikmati dan meresapi rasa masakan, melainkan tentang atensi orang-orang terhadap apa yang disantap atau dilahap.  

2. Waktu makan: di generasi topping, waktu sarapan, makan siang dan makan malam sepertinya tidak lagi merujuk pada waktu ideal di sekira jam 06.00-09.00 untuk waktu sarapan, jam 12.00 -13.00 untuk makan siang dan jam 18.00-20.00 untuk makan malam. Disorientizen di ruang digital sangat mungkin terjadi, terlebih ketika makan dan/atau minum bukan lagi sekadar kebutuhan pokok untuk mempertahankan kelangsungan hidup manusia, melainkan juga kebutuhan aktualisasi diri atau kebutuhan update status (butus). Sehingga waktu sarapan, makan siang dan makan malam tidak lagi merujuk pada waktu-waktu ideal. Melewatkan waktu makan ideal atau menunda makan di luar waktu idel di generasi topping seringkali terjadi. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline