Ketika pertama kali saya berkunjung ke Bali di sekira tahun 2018 via jalur darat dengan moda transportasi kereta api Jakarta-Malang, lalu dua hari kemudian menumpang bus travel Malang tujuan Bali. Sudah dari jauh-jauh hari saya membeli tiket pesawat terbang Bali-Jakarta dengan kisaran harga Rp 500.000 untuk perjalanan pulang.
Saya tidak ingin bercerita lebih jauh tentang liburan di pulau dewata di hari itu sebab hampir tidak ada cerita berkesan dengan liburan seorang diri di pulau yang terkenal paling indah wisata pantainya. Terlebih satu-satunya kenalan yang berjanji akan menemani saat saya berada di Bali tidak bisa menepati janjinya karena suatu alasan. Apalagi, dua hari sebelumnya saat berada di Malang, liburan saya sudah mengalami kegundahan.
Malah secara personal, bagi individu seperti saya, liburan di Bali justru membuat susah. Tetapi kesusahan yang saya alami memang cenderung karena bekal uang saku yang cekak. Di luar biaya akomodasi, kesusahan yang pertama saya alami adalah ketika memasuki waktu salat zuhur, telinga saya tidak menangkap satu pun suara azdan dan tidak menemukan satu pun musola atau mesjid di jarak 1-2 km dari hotel tempat saya mengingap. Hingga kesulitan melaksanakan ibadah salat sesuai waktunya.
Tapi sudahlah, saya memang tidak ingin bercerita tentang liburan di Bali yang gagal. Saya ingin bercerita tentang kikuknya ketika pertama kali naik pesawat terbang. Pertama kali menginjakkan kaki di pulau Bali setelah di tahun 1997 batal . Pertama kali berada di Bandara I Gusti Ngurah Rai bahkan pertama kali melakukan proses pemeriksaan, check in tiket, menunggu sampai akhirnya duduk di pesawat dan terbang.
Begitu memasuki jalur terminal pesawat domestik dan lolos pemeriksaan data, petugas keamanan memberi arahan agar saya ke konter maskapai yang tertera pada tiket yang saya bawa untuk melakukan pelaporan (check in) tiket. Di konter maskapai penerbangan tersebut sebagian barang bawaan saya ditarik oleh petugas untuk dimasukkan ke bagasi pesawat. Lalu hanya tersisa tas ransel di punggung yang saya akan bawa ke kabin pesawat.
Saat itu saya tidak mengetahui bahwa ada barang-barang tertentu yang tidak boleh di bawa ke kabin pesawat. Sehingga waktu tas ransel melewati mesin x-ray dan bahkan diri saya sendiri menimbulkan bunyi peringatan saat melewati alat metal detector padahal ikat pinggang, jam tangan, kunci, jaket, topi dan semua isi kantong sudah dilepas dan dikeluarkan, jantung saya berdetak cepat. Jangan-jangan saya akan ditahan dan gagal terbang pulang ke Jakarta.
Rupanya, di dalam tas saya terdapat gunting, pisau cutter, gunting kuku dan alat camping ukuran mini berbahan metal. Di tubuh saya juga masih tersisa logam berupa gantungan kunci yang tergantung di leher. Petugas pemeriksa memberi arahan bahwa barang-barang itu bisa saya bawa asalkan saya mau kembali ke konter maskapai penerbangan untuk menitipkan barang-barang tersebut lewat bagasi pesawat. Tetapi saya memilih merelakan barang-barang itu ditinggal di sana dibanding harus kembali ke konter.
Pengalaman pertama kali menunggu pesawat ternyata sama membosankan seperti menunggu antrean apa pun. Lebih membosankan lagi saat mendengar pemberitahuan bahwa jadwal penerbangan pesawat tujuan Jakarta-Bali dengan nomor penerbangan yang tertera di tiket saya akan mengalami delay kurang lebih 2 jam. Pengalaman penerbangan pertama, delay pula. Sungguh sangat membosankan.
Setelah menunggu dan singkatnya saya sudah berada di dalam pesawat, pemandangan ruang dalam pesawat jauh lebih sempit dari bayangan saya. Jarak bangku mirip dengan bangku-bangku penumpang di bus metromini atau kopaja versi tempo dulu. Selasar yang berada di tengah kabin untuk akses penumpang dan kru pesawat pun jauh lebih sempit dari yang ada di bus versi jadul tadi. Namun harus diakui bahwa interior pesawat jauh lebih baik dan terawat.
Sementara ruang toilet pesawat yang juga sempat saya kunjungi untuk buang air kecil juga sangat sempit. Rupanya seperti itulah fasilitas yang dapat diberikan oleh pesawat terbang domestik dengan harga tiket murah. Walaupun harga tiket pesawat domestik Bali-Jakarta seharga Rp 500.000 tersebut terbilang murah dan saya dapat melalui hasil berburu di aplikasi jauh sebelum hari keberangkatan, bagi saya harga segitu sebenarnya tetap terhitung mahal.