Para orang tua adalah garda terdepan pendidikan bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, orang tua harus mempunyai perhatian khusus terhadap aktivitas interaksi sosial anaknya di dunia digital. Ditinjau dari jutaan judul-judul konten yang kini tersaji di ruang digital, banyak judul konten di antaranya memilih kata, diksi atau kalimat, yang cenderung membuat resah para orang tua.
Perhatian orang tua terhadap anak di dunia digital bisa dimulai dengan berupaya mencari tahu hobi anak-anaknya di ruang digital. Jangan sampai anak punya hobi negatif seperti bermain handphone sepanjang waktu, bermain game yang terhubung dengan judol, nonton konten yang terkontaminasi pornografi dan jangan sampai pula anak hidup tanpa hobi positif di ruang digital.
Pasalnya, yang mungkin dapat terjadi ketika anak terkoneksi dengan dunia digital ialah kecenderungan menerima atau terpapar dampak negatif yang jauh lebih banyak daripada manfaatnya. Salah satu informasi yang belum lama mengemuka tentang dampak buruk dunia digital, yang terbukti terdampak pada anak ialah data yang menunjukkan bahwa sebanyak 80 ribu anak di bawah usia 10 tahun terpapar judi online.
Kemudian ada ancaman terbaru yang dapat memberikan dampak buruk bagi anak, yang patut menjadi perhatian orang tua adalah munculnya ruang-ruang stensil digital. Sebuah ruang yang mampu menarik keterlibatan banyak netizen atau warganet, sehingga memiliki potensi algoritma yang bagus dan membuat banyak kreator konten mulai melirik tema-tema konten bernuansa erotisme, pornografi, sensualitas hingga cerita cabul berbasis kisah nyata atau peristiwa kriminal seputar dunia lendir, yang jika diamati tidak mempunyai unsur edukasi, tapi justru sebaliknya memiliki potensi dampak negatif bagi penonton atau penikmatnya.
Namun ironisnya, setiap konten yang tersaji dalam konteks bahasa stensilan di ruang stensil digital sepertinya tidak terdeteksi sebagai konten asusila, pornografi, sensualitas atau tindakan cabul yang wajib diblokir atau di take down baik oleh pihak berwenang maupun oleh platform digital atau flatform media sosial. Sehingga konten-konten stensilan yang mulai bertumbuh tanpa sensor dalam bentuk ruang stensil di dunia digital merupakan sinyal bahaya narkolema. Khususnya bagi anak-anak di bawah umur.
Ruang-ruang stensil yang diciptakan, memang tidak murni menyajikan konten video porno atau yang dulu biasa disebut blue film. Tetapi keresahan yang ditimbulkan seirama dengan keresahan para orang tua di masa lalu ketika blue film atau film porno dapat diakses melalui format Video Home Systems (VHS) atau Betamax dalam bentuk fisik pita kaset, yang banyak beredar dengan cara dijual atau disewakan.
Beruntungnya, oleh karena teknologinya masih terbilang mahal di masanya, hanya segelintir orang yang dapat mengakses blue film berformat VHS atau Betamax tersebut. Hanya saja, meskipun sulit mendapatkan kaset video untuk memutarnya, terlebih yang memiliki video player jenis VHS atau Betamax saat itu masih sangat jarang, ternyata keresahan belum berakhir di sana.
Sebab fornografi dalam konteks tulisan melalui cerita stensil seperti cerita dalam novel karya Fredy. S, Abdullah Harahap, Motinggo Busye, Nick Carter karya terjemahan dan lebih vulgar novel karya Enny Arrow, yang bisa jauh lebih mudah didapat, lebih murah untuk dimiliki sampai lebih cepat dikonsumsi oleh mata ketimbang versi film, ancaman bahayanya jauh lebih masif. Terutama ketika diketahui bahwa daya rusak otak akibat menyaksikan versi film atau versi teks yang mengandung unsur pornografi mempunyai potensi yang sama bahkan jauh lebih merusak dibanding narkoba.
Video porno atau blue film dan cerita stensil yang beredar di pasaran kala itu, jelas bukan edukasi tentang seksologi, melainkan jenis transaksi bisnis berbasis hiburan visual dan/atau literasi bacaan, yang berakar dari ide dan pikiran erotis, pornografi, sensualitas atau aktivitas cabul dan menjadi industri paling seksi demi mendapatkan keuntungan finansial dari para penonton, pembaca atau penikmatnya.
Maka bercermin dari masa lalu, ketika video-video porno atau blue film di dunia digital sudah mulai sulit ditonton karena diblokir, di take down atau diberlakukan aturan pelarangan ketat keberadaannya di ranah digital, ruang-ruang stensil yang dimunculkan oleh sejumlah kreator konten dan dinilai berpeluang dalam memenuhi kebutuhan hasrat, libido atau nafsu manusia yang kelak bisa mendatangkan subscriber, viewer, komentar, like, share atau keuntungan nilai lainnya, tampak mulai menjamur dan menjadi sebuah fenomena.