Ketika suatu saat saya membaca pesan di sebuah grup whatapps yang memunculkan daftar beberapa nama dengan mencantumkan huruf 'H' di depan namanya untuk sebuah kegiatan, yang di antara daftar nama tersebut saya ketahui sebelumnya sudah pernah melaksanakan ibadah umrah tetapi sependek pengetahuan saya belum pernah melaksanakan ibadah haji (sepanjang pengetahuan rasanya belum ada informasi terbaru), saya membatin tanya, "mengapa yang disematkan bukan huruf 'U' sebagai gelar untuk 'Umrah'?
Tentu saja pertanyaan batin saya tidak akan terjawab. Hanya saja saya jadi teringat sebuah perdebatan tentang perbedaan ulama baik dan ulama buruk untuk merujuk perdebatan tentang ulama akhirat atau ulama agama versus ulama su' atau ulama jahat.
Ulama su', yaitu yang dipandang menjual ilmunya demi dunia, ingatan yang juga mengembalikan pada candaan bahwa untuk membedakan ulama baik dan ulama buruk adalah dengan melihat huruf 'U'nya, 'u' lama atau 'u' baru.
Namun tentang penyematan gelar H untuk orang-orang yang sudah melaksanakan ibadah haji ternyata mempunyai latar belakang. Dikutip dari indonesiabaik.id, antroplog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi menjelaskan, tradisi penyematan gelar haji atau hajjah sejarahnya bisa dilihat dari tiga perspektif, yaitu keagamaan, kultural dan kolonial.
Dari perspektif keagamaan, haji merupakan perjalanan untuk menyempurnakan rukun Islam. Perjalanan yang jauh dan panjang, biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah, penting dan tidak semua orang bisa lakukan sehingga gelar haji disematkan bagi siapa saja yang berhasil melakukannya.
Perspektif kultural mengatakan bahwa narasi dan cerita-cerita menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji juga terus berkembang menjadi cerita popular, sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji. Bahkan, sebagian besar tokoh-tokoh masyarakat juga bergelar haji. Karenanya, ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi.
Terakhir, dari perspektif kolonial ketika banyak perlawanan penjajahan berasal dari umat Islam, terutama yang baru haji, maka disematkanlah gelar haji sejak 1916, agar lebih mudah mengawasi bagi yang memberontak dalam konteks perlawanan umat Islam kala itu.
Namun dari ketiga latar belakang penyematan gelar haji, menurut saya, poin dari perspektif kolonial cenderung lebih bisa diterima oleh karena di negara lain yang juga memiliki dua latar belakang yang sama, yakni keagamaan dan kultural tetapi tetap tidak menyematkan gelar haji pada penduduknya yang telah melaksanakan ibadah haji.
Beranjak dari sejarah penyematan gelar haji berlatar kolonial itulah penyematan gelar haji cenderung tetap berjalan dengan alasan yang memang di kemudian hari berbeda dari latar belakang dari perspektif kolonial. Sebab masa kolonial telah lama usai.
Maka kembali pada pesan grup whatapps terkait penyematan gelar 'H' untuk orang-orang yang telah melaksanakan umrah (bila pun diberi penyematan gelar seharusnya 'U'), saya meyakini bahwa dalam konteks penyematan gelar dalam pesan tersebut merupakan bagian dari upaya saling mendoakan, memotivasi atau memberikan dorongan semangat agar daftar nama tersebut diberi kemudahan, kelancaran, keberkahan, upaya dan rezeki untuk bisa melaksanakan ibadah haji di masa mendatang setelah melaksanakan ibadah umrah.