Lihat ke Halaman Asli

Sunan Amiruddin D Falah

TERVERIFIKASI

Staf Administrasi

Selevel S2 Dibully! Bukti Gagalnya Pendidikan Karakter yang Perlu Pembenahan

Diperbarui: 8 Mei 2024   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: kemdikbud.go.id/kominfo.go.id

Secara umum pendidikan karakter mengarahkan peserta didik pada terbentuknya mental model berbasis moralitas, etika, ahlak atau perilaku baik. 

Lebih dari itu, sistem pendidikan karakter bagaimanapun proses, persepsi, program atau kurikulum yang digunakan, seharusnya tetap mengacu pada terbentuknya kompetensi atau keahlian keilmuan bermental model positif, yang di dalam penerapannya akan selalu mengedepankan moral, etika ahlak atau perilaku baik sebagai tujuan. 

Disiplin ilmu kedokteran seperti juga pada banyak disiplin ilmu lanjutan lainnya yang terutama akan memiliki tugas dan tanggungjawab terhadap jasa pelayanan masyarakat, seharusnya sudah membekal mental model positif yang didapat dari tingkat pendidikan SD-SMP-SMA/SMU yang berkarakter. 

Sehingga di manapun, kapanpun, kepada siapapun, dan berada pada posisi apapun, moralitas, etika, ahlak atau perilaku baik tetap dijaga dan diterapkan. Kapan sebenarnya pendidikan karakter dimulai? 

Tahun 2010 dikatakan sebagai tahun pendidikan karakter karena tahun 2010 tepatnya pada tanggal 12 Januari 2010, Pemerintah melalui Kementrian Pendidikan Nasional mencanangkan Program Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai gerakan nasional.  Tetapi sejatinya jauh sebelum itu, para pejuang pendidikan seperti R. A. Kartini, Ki Hajar Dewantara, Dewi Sartika, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy'ari telah menanamkan pondasi pendidikan karakter pada sistem pendidikan di Indonesia. Apa yang dimaksud pendidikan karakter? 

Dikutip melalui sebuah jurnal yang sumbernya berasal dari www.presidenri.go.id, pendidikan karakter adalah sebuah cara untuk menggembleng generasi muda agar memiliki jiwa ksatria, pantang menyerah, unggul, mandiri, dan mampu menghadapi tantangan zaman. Sejarah perjuangan kebangsaan kita mencatat, bahwa kemerdekaan yang kita raih merupakan hasil jerih payah para pendahulu kita yang memiliki karakter tangguh, ulet, dan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Kita ingin melahirkan insan Indonesia yang cerdas, kompetitif, dan berakhlak mulia. Melalui pendidikan karakter, kita ingin mencetak manusia Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta berdaya saing tinggi. Melalui pendidikan karakter pula, kita ingin membangun bangsa yang unggul. Bangsa yang memiliki daya saing dan etos kerja produktif.

Sementara dari Kemdikbud.go.id diperoleh informasi tentang 4 (empat) dimensi pendidikan karakter yang menjadi penguatan pendidikan karakter, yaitu olah hati (etik), olah pikir (literasi), olah rasa (estetik) dan olahraga (kinestetik). Olah hati merupakan dimensi pembentukkan nilai spiritual agar setiap individu memiliki kerohanian mendalam, beriman, bertakwa dan berahlak mulia. Olah pikir merupakan dimensi pembentukan kompetensi, keahlian atau kemampuan agar setiap individu memiliki keunggulan akademis. Olah rasa merupakan dimensi pembentukan moralitas agar setiap individu memiliki integritas moral, rasa berkesenian dan berkebudayaan. Olahraga merupakan dimensi pembentukkan nilai sportivitas agar setiap individu sehat dan berpartisipasi aktif sebagai warga negara.

Merujuk pada 4 (empat) dimensi penguatan pendidikan karakter dan mengaitkannya dengan maksud dan tujuan pendidikan karakter, sejauh mana sebenarnya ukuran keberhasilan sistem pendidikan karakter apabila dikaitkan dengan data hasil skrining Kementrian Kesehatan tentang depresi dokter spesialis dan kasus-kasus pelanggaran etik dan hukum terutama di dunia pendidikan yang baru-baru ini mengemuka. 

Program Pendidikan Dokter Spesial (PPDS) yang setara dengan sarjana strata-2 (S2) dan memiliki jalur keilmuan berbeda dari magister atau S2, diberitakan mengalami depresi hingga perundungan. Berdasarkan hasil skrining terdeteksi 22.4 persen mahasiswa PPDS mengalami depresi, dan tiga persen di antaranya mencoba mengakhiri hidup atau bunuh diri.

Maka bila terbukti benar masih terdapat korban perundungan dalam lingkup kedokterran apalagi selevel S2 di dalam pendidikan kita, artinya masih ada pelaku perundungan di setara level S-2 atau di atasnya.  Waw! Sungguh bukan lagi sesuatu yang miris atau ironis, tetapi juga mengherankan, mencengangkan sekaligus cenderung menunjukkan bahwa sistem pendidikan karakter telah gagal dibangun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline