Lihat ke Halaman Asli

Sunan Amiruddin D Falah

TERVERIFIKASI

Staf Administrasi

Ramadanomics : Musibah atau Berkah?

Diperbarui: 20 Maret 2024   00:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber gambar: Riza Fathoni/kompas.id

Ramadan tiba. Seluruh umat Islam menyambutnya dengan penuh antusias. Penyambutan ramadan tidak hanya datang dari sisi religiositas, tetapi datang pula dari para pelaku ekonomi. 

Sayangnya, sambutan terhadap ramadan dari sisi ekonomi seringkali diawali dengan keluh kesah masyarakat. Apa penyebabnya?

Apa lagi kalau bukan kenaikan harga kebutuhan pangan. Kenaikan harga yang antara lain disebabkan oleh permintaan yang meningkat dari konsumen, kenaikan biaya distribusi dan psikologi pasar menjelang ramadan. 

Tetapi kenaikan harga kebutuhan pangan di awal ramadan, yang menjadi keluh kesah masyarakat justru sebagai penanda bahwa ramadan dapat memberikan pengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Bagaimana tidak? 

Untuk persiapan puasa saja,  yang  umumnya disambut dengan ritual ziarah kubur dan ruwahan, geliat ekonomi yang tidak biasa terjadi di luar bulan ramadan mulai tampak. 

Belum lagi kecenderungan umat Islam yang biasa menyajikan menu bergizi, lezat, segar dan agak mewah saat sahur dan berbuka di hari pertama yang ditunjukkan dengan padatnya pembeli di pasar-pasar tradisional maupun modern untuk berbelanja persiapan memasak hidangan sahur dan berbuka, yang sekaligus menjadi salah satu sebab kenaikan harga kebutuhan pangan akibat tingginya permintaan. 

Intinya, pola konsumsi masyarakat sudah mengalami peningkatan di awal meskipun belum tentu diimbangi oleh kemampuan daya beli sejumlah kalangan masyarakat yang faktanya seringkali mendengungkan kenaikan keluh kesah tentang harga kebutuhan pangan jelang ramadan. Perihal inilah yang kemudian memicu pertanyaan,  apakah pertumbuhan ekonomi (ramadanomics) bisa disebut berkah? Jangan-jangan justru musibah! 

Jika perspektifnya dalam konteks ekonomi makro, bertumbuhnya pergerakan ekonomi di momen ramadan yang dimulai dari belanja kebutuhan pangan di tingkat rumah tangga hingga bergulir ke berbagai sektor seperti transportasi, retail, pariwisata sampai manufaktur, yang mendatangkan keuntungan ekonomis bagi para pelaku bisnis tetapi mencekik ekonomi masyarakat kelas bawah sepertinya belum layak disebut berkah. 

Sebab bagi masyarakat di tingkat konsumen langsung, harga yang mencekik daya beli (menguras kantong yang pas-pasan bahkan seringkali kurang) merupakan bagian dari musibah, yang tentu saja dimaknakan dalam konteks ramadanomics, bukan dari sudut pandang religiositas. 

Salah satu perputaran uang atau pergerakan pertumbuhan ekonomi (ramadanomics) yang bisa disebut sebagai suatu berkah atau mendatangkan keberkahan adalah transaksi ekonomi yang mengandung nilai keadilan, kesejahteraan atau keikhlasan di dalamnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline