Tradisi penghargaan atas karya pemikiran, ide, keilmuwan, sosial dan kebudayaan sudah menjadi praktik umum dalam dunia intelektual. Penghargaan berskala nasional seperti Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) menjadi tolak ukur bagi pencapaian di bidang sosial, satra, kedokteran dan sains.
Di dunia internasional kita mengenal Hadiah Nobel yang memberi penghargaan untuk bidang sastra, kimia, fisika, kedokteran, ekonomi dan perdamaian. Meskipun peraih penghargaan Nobel seringkali menuai kritik lantaran berbau unsur politis, penghargaan Nobel tetap menjadi parameter pencapaian terhadap semua bidang tadi atas kontribusinya dalam memberikan manfaat terbesar bagi umat manusia.
Dalam dunia tulis-menulis internasional dikenal beberapa jenis penghargaan antara lain, 'The International Booker Prize, Hugo Award, The Pulitzer Prize dan Goodreads Choice Awards.
Ditingkat nasional gaung penghargaan bidang kepenulisan sepertinya cenderung meredup. Jika mengutip salah satu artikel daring, didapat informasi untuk 5 (lima) penghargaan penulis yang patut dicoba, yaitu; Sayembara Novel DKJ, Kusala Sastra Khatulistiwa sebelumnya bernama Khatulistiwa Literary Awards, Anugerah Cerpen Kompas, Tokoh Seni Tempo dan Penghargaan Sastra Badan Bahasa.
Akan tetapi hingga hari ini, baik dari dunia kepenulisan atau sastra maupun bidang lainnya, karya anak bangsa masih belum mampu menyentuh level internasional dalam 'tanda kutip'. Sebab pada level nasional pun ketika karya-karya hebat anak bangsa mengemuka, popularitasnya sebatas permukaan, tidak bertahan lama dan cepat tenggelam serta tergantikan oleh informasi-informasi yang tersebar dalam arus informasi digital.
Redupnya penghargaan bergengsi dalam dunia tulis-menulis maupun bidang lain atas karya pemikiran, ide, keilmuwan, sosial, budaya, kedokteran, ekonomi dan lainnya turut menjadi alasan mengapa jarang sekali karya anak bangsa yang mendunia. Terutama hingga mampu memberikan manfaat terbesar bagi manusia di dunia dan kemudian mencatatkan nama bangsa dalam peraihan penghargaan Nobel.
Hadiah Nobel memang bukan satu-satunya cara untuk menunjukkan prestasi suatu bangsa pada dunia apalagi penentuan pemenang awards bergengsi dunia itu bila dikaitkan dengan kritik bernuansa politik, terdapat kecenderungan penjurian atau penilaian yang subjektif.
Tahun ini Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) memberikan pada 4 (empat) tokoh untuk 4 (empat) bidang, dan mereka adalah: Fachry Ali (Jakarta) bidang pemikiran sosial, Joko Pinurbo (Yogyakarta) bidang sastra, Andrijono (Jakarta) bidang kedokteran, dan Carina Joe (London) bidang sains.
Sementara Hadiah Nobel diberikan pada John Fosse (Norwegia) untuk bidang sastra, Narges Mohammadi (Iran) bidang perdamaian, Katalin Kariko dan Drew Weissman (Amerika Serikat) bidang kedokteran, Pierre Agostini, Ferenc Krausz dan Anne L' Huillier (Amerika Serikat, Jerman dan Swedia) bidang Fisika, dan Moungi Bawendi, Louis Brus dan Alexei Ekimov (Prancis, Amerika Serikat dan Rusia) untuk bidang Kimia.
Akhir tahun ini, kompasiana awards digelar. Ada beberapa kategori yang dinominasikan antara lain, Best in Citizen Jurnalism, Best in Opinion, Best Fiction, Best in Specific Interest, dan Kompasianer Paling Lestari. Bagi saya pribadi yang belum genap setahun gabung kompasiana tidak pernah terpikir untuk masuk nominasi awards kompasiana. Selain tidak memenuhi kriteria, yang menjadi tujuan saya menulis di kompasiana rasanya belum sedikitpun mengarah ke pencapaian.